Akhirnya Ditya bisa bertemu dengan dokter Wahyu. Wajah lesu Ditya tiba-tiba bercahaya saat menemukan dokter Wahyu dalam ruangannya. Benar kata teman-temannya yang lain, ia memang beruntung ditempatkan di rumah dokter ini langsung karena dokter ini pasti mau membuka konsultasi di luar puskesmas. Kelompok-kelompok sebelumnya ditempatkan di rumah warga lain tapi karena saat ini rumah itu berhalangan, mereka tinggal di rumah dokter Wahyu.
"Jadi cowok itu harus tanggung jawab, ya kan? Kalian setuju, kan?" dokter Wahyu memberi petuah pada mereka setelah bertanya apakah mereka sudah punya gandengan atau belum. Dokter Wahyu selalu berusaha mengenal anak didiknya lebih dekat dan bukan sekedar hubungan datar antara pengajar dan muridnya. "Saya dulu itu paling takut kalau membuat pacar saya sakit hati. Mantan pacar maksudnya, kan sekarang sudah menjadi istri."
Ditya dan Erwin tertawa sopan.
"Cowok itu harus begitu. Cewek itu kenapa dikasih air mata banyak-banyak sama Tuhan... ya buat dikeluarkan, makanya cewek itu cenggeng. Membuat cewek menangis itu tidak apa-apa, tapi kalau sampai membuat cewek apalagi pacarnya sendiri sakit hati... itu lain cerita. Cowok seperti itu kalau bilang punya cita-cita jadi dokter... omong kosong namanya. Lha menjaga pacarnya sendiri supaya tidak sakit saja tidak bisa, apalagi mengobati orang lain. Ya kan, begitu lho logikanya."
Ditya dan Erwin mengangguk. Erwin tidak pernah memikirkan hal itu dan mulai menelaah dirinya sendiri apakah ia pernah menyakiti hati seorang cewek. Ditya juga tertegun, tapi apa yang dipikirkannya berbeda dengan temannya. Dikepalanya sudah terpampang wajah gadis yang dulu pernah ia sakiti. Ditya tidak setuju. Bukannya karena pernah menyakiti orang makanya berusaha menebusnya dengan berusaha menyembuhkan orang lain?
"Dulu pernah ada cowok... saya tidak kenal, tapi saat denger ceritanya... wah... ini nih... salah. Yang cewek merasa disakiti tapi yang cowok sama sekali tidak merasa berbuat salah. Makanya dua-duanya bubar. Tidak bisa kalau seperti itu. Hubungan cewek-cowok itu harus ada komunikasinya. Ya kan, begitu logikanya."
Ditya seakan ditonjok. Ia tidak berani menatap dokter Wahyu selama beberapa saat. Ia pernah melakukannya, meski tidak sama persis. Ia menyakiti seorang cewek dan meninggalkan cewek itu. Sampai sekarang ia masih belum berani menghubungi cewek itu untuk meminta maaf. Lagipula, sepertinya sudah terlambat, kan?
Lagi-lagi dua pemuda itu mengangguk, tidak begitu yakin harus merespon apa terhadap teori yang sepertinya sudah menjadi pegangan hidup dokter Wahyu.
"Kalau saya punya mahasiswa kayak gitu... wah... pasti nilai afektifnya minus di hadapan saya. Perlu hati-hati dia bertindak kalau mau lulus," dokter Wahyu menambahkan.
Ditya mulai tersenyum lagi walau sekarang senyumnya lebih samar. Dokter Wahyu ternyata doyan ngobrol. Tiga hari ini dokter ini sibuk sehingga Ditya berpikir dokter ini orang yang cuek, tapi nyatanya tidak. Semoga saja si dokter mau bermurah hati memberikan sebuah topik permasalahan padanya.
"Eh, dok... tentang topik permasalahannya. Sampai sekarang saya belum menemukan masalah yang bisa diangkat. Kalau misalnya dokter... kan katanya waktu itu dokter..."
"Oh, iya... untung kamu ingetin. Jadi gini lho, puskesmas itu mau mengadakan IVA. Buat ibu-ibu begitu..."
"IVA, dok?" Ditya menyela.
"Inspeksi Visual Asam Asetat. Jadi prinsipnya seperti pap smear, deteksi dini kanker rahim tapi ini tingkatannya dibawahnya. Nah, kalau kamu mau nebeng saja. Besok kamu tanya Suster Andini data yang sudah dikumpulkan, karena bulan lalu dari 19 pemeriksaan ketemu 3 yang suspect. Berapa itu jadinya persentasi masalahnya? Lumayan kan."
"Jadi data kanker serviks ya, dok? Kok saya nggak lihat ya di laporan tahunan."
"Bukan kanker serviks, tapi masih suspect. Kita baru menjalani tahun ini... jadi berapa bulan itu... jalan dua ini ya. Nah itu... jadi kamu atur saja sama suster Andini. Kamu yang beli asam asetatnya nanti yang memeriksa biar suster-suster." Ditya senang sekali mendengar penjelasan dokter Wahyu. Pundaknya tiba-tiba terasa ringan, bebannya terangkat.
"Tapi, kan... untuk latar belakang, datanya kan harusnya dari tahun lalu. Kalau ini cuma data satu bulan kan jadi beda dengan data yang lain... takutnya..."
"Memang pemeriksaan ini baru dicanangkan puskesmas ini tahun ini, datanya memang belum lengkap."
"Kalau begitu nggak bisa dong dok. Karena data yang lain kan dari tahun lalu. Takutnya..."
"Tidak apa-apa, katakan saja memang ini hal baru dan datanya memang baru diambil dua bulan ini."
"Tapi dok kalau begitu... takutnya...
"Sudah... tidak perlu pakai tapi... juga tidak perlu takut," dokter Wahyu menyela, gregetan. "Ambil gampangnya saja, jangan ambil pusing. Lagipula, kapan lagi kalian bisa melihat serviks kalau nggak sekarang? Kalian kan dokter gigi, mana bisa membuka-buka bagian bawah pasien wanita. Cuma boleh buka mulut pasien saja kan. Ini kesempatan... pengalaman berharga." Dokter Wahyu berusaha menepis keraguan di wajah Ditya namun cowok ini masih belum terlihat yakin.
"Tapi, dok..."
"Nah... nah... cowok kayak gini nih... yang sering ragu... kebanyakan mikir... ada potensi melarikan diri nih kalau ada masalah berat sama ceweknya," dokter Wahyu tertawa.
Erwin ikut tertawa dengan suara lepas. Memang susah kalau berhadapan dengan psikolog, apalagi yang kompetensinya adalah seksualitas, segala hal dikaitkan dengan relasi antara pria dan wanita.
"Ah, dokter... jangan bikin saya malu," Ditya mengelak dengan wajah memerah.
"Eh, Papa... sudah pulang ternyata." Ditya langsung menolehkan kepalanya saat suara Ola terdengar. Gadis itu ternyata tidak sendiri. Pasti sepupunya. Ditya memfokuskan pandangannya pada gadis lain yang mengekor di belakang Ola.
Ditya membeku. Ia bisa merasakan Erwin berdiri di sebelahnya. Ia juga harus berdiri. Ditya memaksakan seluruh kekuatannya untuk berdiri. Matanya sama sekali tidak berpindah dari gadis itu.
Itu Adria.
Ditya tidak akan pernah melupakan wajahnya.
Kalau saya punya mahasiswa kayak gitu... wah... pasti nilai afektifnya minus di hadapan saya. Perlu hati-hati dia bertindak kalau mau lulus
Kalimat yang siucapkan dokter Wahyu beberapa menit yang lalu terngiang di telinganya. Ia perlu lulus. Tugas lapangan ini adalah satu-satunya harapannya untuk bisa lulus mata pelajaran ini. Nilai teorinya sudah tentu hancur karena ia tidak suka pelajaran ini dan saat ujian ia malah salah mempelajari materinya. Ia tidak mau mengulang 1 tahun hanya gara-gara pelajaran bodoh ini.
Ditya segera mengangkat tangannya, meraih tangan Adria yang masih setengah terangkat.
Aku harus lulus. "Hai, aku Ditya." Ditya berpura-pura tidak mengenal Adria. Tidak ada yang boleh tahu kalau ia pernah menyakiti gadis ini. Dokter Wahyu tidak boleh tahu kalau teorinya tentang kepribadian Ditya benar. Dan Ditya rela menjaga rahasia ini meski itu artinya ia menyakiti hati Adria lagi.
Setidaknya kali ini aku tidak melarikan diri, Ditya berusaha membenarkan perbuatannya. Kali ini aku hanya berpura-pura tidak menyadari kehadirannya.
YOU ARE READING
Empat
Teen FictionSatu detik saja harus kulalui tanpa melihatmu, Dua mataku menjadi sepi. Tiga detik... bagaimana mungkin kau memintaku menunggu selama itu. Empat. Aku akan mengatakannya dalam hitungan keempat. Satu, dua, tiga... empat Empat. Inilah perasaan terdal...