Maaf tiba-tiba hiatus. Ini dia bab selanjutnya
Ola bergerak-gerak dengan gelisah sambil duduk di atas tempat tidurnya. Beberapa kali ia memanjangkan lehernya, melihat keadaan di luar kamarnya melalui pintu yang sengaja ia buka lebar. Adria duduk diam di sebelah Ola dengan kaki diluruskan dan sebuah buku di kedua tangannya.
Adria bertanya-tanya tentang sikap sepupunya yang misterius itu dalam hati sambil melirik, menunggu Ola melakukan itu lagi. Nah, itu dia. Ola kembali memanjangkan lehernya dengan gelisah.
"Cari apa sih di luar, La?" tanya Adria akhirnya, gemas dengan sikap Ola.
Ola nyengir. "Nunggu si Erwin lewat."
Adria tidak perlu bertanya lagi, ia tahu maksud sepupunya. "Ngapain ditunggu. Samperin aja. Cuma di sebelah, kan?" goda Adria.
Ola tertegun sesaat. "Eh, iya juga ya. Pinter kamu, Dri." Dan Ola langsung melesat keluar dari pintu, meninggalkan Adria yang keheranan. Ia kan cuma bercanda, tidak disangka Ola malah menanggapinya dengan serius. Itu bukan saran yang akan ia ucapkan pada dirinya sendiri meski teori itu benar. Ditya ada di sebelah, kenapa tidak ia hampiri dan menanyakan kejelasan semuanya.
Ia mendengus. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Ia bukan apa-apa Ditya, kenapa ia harus meminta sebuah penjelasan? Tidak masuk akal! Dua tahun lalu pun ia tidak meminta penjelasan karena semuanya sudah jelas. Beberapa kali Henny dengan terang-terangan mengatakan menyukai Ditya sambil meminta maaf dan meski Adria terkejut dengan keterus terangan itu, gadis ini hanya tersenyum sambil mengatakan, "Naksir orang itu hak setiap orang kok. Nggak perlu meminta maaf."
Apa ia terlalu lemah? Adria sering kali bertanya pada dirinya sendiri, namun lagi-lagi otaknya menangkisnya. Semua orang berhak menyukai seseorang dan bila Ditya lebih memiih Henny, itu haknya. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Adria memilih tidak mengatakan apa-apa dan menyetujui usulan ayahnya untuk pindah ke Jakarta bersama keluarga baru ayahnya. Setelah ibunya meninggal, ia sempat tinggal bersama ayahnya selama beberapa tahun, namun karena ayahnya menikah lagi, Adria memutuskan tinggal di rumah saudara mamanya yang di Surabaya. Tahun lalu keluarga bibinya ini pindah ke Tokyo, diboyong anak pertama mereka yang sudah berkeluarga di sana.
Ola kembali tak lama kemudian, membuyarkan renungan Adria. Gadis ini langsung menutup pintu kamarnya dan bersandar dengan memejamkan mata, berusaha menenangkan jantungnya yang seakan ingin meloncat dari rongga dadanya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat lebar.
"La!" Adria berusaha menyadarkan Ola. Gadis itu membuka matanya sambil melorot duduk di lantai.
"La!" panggil Adria lagi.
Senyum Ola semakin lebar. Adria tidak tahu kalau bibir Ola yang kecil bisa tertarik selebar itu. "Kenapa?" tanya Adria.
"Erwin," Ola mendesah.
"Kenapa dia?"
Ola mengembil jeda sebelum menjawab seakan berusaha mengingat kejadian itu. "Senyum ke aku."
Adria bengong. "Terus?"
"Ya udah itu aja."
Senyuman Ola menular ke Adria meski gadis ini tidak tersenyum selebar sepupunya. Ia tahu apa yang dirasakan Ola. Wajah Ditya langsung berkelebat di kepalanya dan senyum itu langsung terhenti saat wajah Henny juga ikut muncul.
Adria menghembuskan nafas dan berusaha menghilangkan kedua wajah itu dari kepalanya. "Terus, tadi kamu ke sana ngapain?" tanya Adria.
Ola terkikik. Ia menunjukkan selembar kertas yang dari tadi luput dari pandangan Adria. Adria berdiri dan mengambil kertas itu. Sebuah selebaran.
Deteksi dini kesehatan jiwa.
"Bahan penelitian Erwin?"
Ola mengangguk-angguk.
"Buat apa?"
Sekarang Ola terkikik. "Alesan aja supaya bisa ke sana. Habisnya yang pertama terpikir cuma itu. Tapi sukses lho, dia langsung senyum gitu. Astaga, Dri... senyumnya itu lho... bintang iklan pasta gigi aja kalah!"
"Giginya kan nggak rapi," Adria langsung memprotes.
"Ih, biarin!" Ola langsung membela diri. "Yang penting tadi dia senyum ke aku waktu aku bilang aku pinjam kertas itu."
"Emang kamu pakai alasan apa?"
Ola tersenyum bersalah, "aku bilang mau coba deteksi kamu siapa tahu ternyata kamu ada masalah soalnya tiba-tiba mau ditarik sama Mas Ben yang kamu tahu... agak gila." Ola memberikan tanda petik dengan tangannya saat mengatakan kata gila.
Air muka Adria langsung berubah. "Dia nggak gila kok."
Ola mengiyakan. "Emang sih, tapi Mas Ben kan aneh. Hampir nggak pernah berbicara, sukanya tiba-tiba pegang tangan orang gitu pakai gaya paranormal terus kasih tahu orang itu punya penyakit apa."
Adria ingat kejadian beberapa hari yang lalu saat tangannya tiba-tiba dipegang oleh Benjy. "Memangnya Mas Ben bisa deteksi penyakit gitu?"
Ola mengangkat bahu. "Nggak tahu juga ya, ada yang bilang diagnosanya tepat, tapi ada juga yang bilang Mas Ben memang orang aneh."
"Menurutmu dia aneh?" Adria ingin tahu pendapat Ola.
"Mungkin, tapi bukan aneh dalam pengertian jahat ya. Kayak menarik diri gitulah. Baik sih orangnya menurutku walau kadang enggak ramah... susah sosialisasi kali ya. Tapi dia bisa tuh bergaul sama anak-anak."
"Oya?"
Ola mengangguk. "Eh, kamu belum cerita. Tadi kamu ke mana sama Mas Ben?"
Adria tersenyum. "Ke hutan."
Ola terbelalak. "Nggak takut tuh?"
"Kan kamu bilang sendiri kalau dia baik," Adria membalas.
Ola tidak bisa memberikan balasan yang tepat. "Terus ngomongin apa kalian?"
Adria menggelengkan kepala. "Nggak ada. Dia diem banget."
"Lha, terus kalian di sana ngapain?"
Ola bengong ketika Adria menjawab pertanyaannya dengan dengus geli yang disusul dengan tawa tertahan.
*
YOU ARE READING
Empat
Teen FictionSatu detik saja harus kulalui tanpa melihatmu, Dua mataku menjadi sepi. Tiga detik... bagaimana mungkin kau memintaku menunggu selama itu. Empat. Aku akan mengatakannya dalam hitungan keempat. Satu, dua, tiga... empat Empat. Inilah perasaan terdal...