5.3

26 3 2
                                    


Benjy melihat tatapan itu dan langsung memutuskan keluar. Ia berhasil menjaga wajahnya tanpa emosi tapi begitu udara segar menyentuh kulitnya, perasaannya langsung tergambar di wajahnya. Diembuskannya napas yang sedari tadi seakan tertahan dan tidak mau dikeluarkan. Ia bisa merasakan wajahnya yang memerah karena panas.

Adria yang ada seruangan dengannya benar-benar membuatnya susah berkonsentrasi. Jantungya terus berdebar sementara matanya selalu ingin melirik ke arah gadis itu. Dan ia sama sekali tidak bisa mencuri pandang karena Adria terus melihat ke arahnya dengan tatapan penuh minat. Itulah yang membuatnya malu. Juga senang. Tapi malu.

Benjy kembali ke dalam kelas setelah perasaannya mulai tenang. Dahinya sedikit berkerut ketika melihat dari arah jendela, anak-anak yang keluar dari kursi mereka dan menari-nari dengan senyum lebar terkembang. Ia melangkah masuk ke dalam dan suara Adria langsung menyambutnya.

Dan sekarang di sinilah ia, satu jam kemudian, di rumahnya, seperti permintaan Adria. Gadis itu tiba-tiba bertanya terus tentang sebuah video. Juga sebuah lagu. Dan gerakan. Bicara gadis itu agak kacau tapi penuh luapan semangat. Wajahnya juga berbinar senang. Benjy suka melihat perubahan air muka itu. Kemarin wajah gadis itu seakan ia baru saja mendenger berita duka. Dan sebuah video yang ia tunjukkan saat mereka ada di perbatasan yang disebut Adria sebagai hutan itulah yang membuat gadis itu tersenyum.

Hari ini gadis itu menanyakan keberadaan video itu lagi. Gadis itu ragu dan menutup mulutnya. Benjy bisa melihat Adria berusaha mengatakan sesuatu lagi dan ia menunggu. Gadis itu masih saja menimbang. Benjy berbalik arah dan Adria menemukan keberaniannya saat sebuah kalimat meluncur dari mulutnya. "Boleh ikut ke rumahmu? Aku ingin lihat video itu lagi."

Kalau Benjy boleh memberikan sebuah label, maka hari itu adalah hari keberuntungannya. Tidak pernah ia sangka ia bisa membonceng Adria di sepedanya lagi. Beruntung sekali hari ini Adi tidak mengikuti kelas di balai desa karena ayahnya mengajak adik kecilnya itu ke Malang, mengunjungi beberapa saudaranya. Seperti biasa, Benjy memilih tinggal di rumah dan ia selalu tahu keputusan itu membuat ayahnya menarik nafas lega.

Benjy menyalakan komputernya dan layar di depannya itu seakan bisa mendengar debar jantungnya yang memompa darah dengan cepat sampai ke kepalanya dan mencemoohnya. Rasanya lama sekali sebelum akhirnya monitor itu menunjukkan desktop komputernya.

"Rumahmu sepi ya," Adria memecah keheningan di antara mereka. Kalimat Adria itu tidak butuh jawaban jadi Ben tetap diam.

Adria tidak terganggu dengan keheningan itu. Sekarang tangannya asyik membongkar sebuah tumpukan kertas di atas meja komputer yang ada di kamar Benjy. Ia berdiri dan perhatiannya beralih pada sebuah rak yang penuh dengan action figure beberapa tokoh kartun dengan ukuran mini.

Benjy melihat gadis itu memainkan beberapa koleksinya sambil membuka mulutnya tanpa suara. Benjy tersenyum melihat kelakuan Adria. Gadis itu kembali duduk di sebelahnya dan tubuh Benjy langsung menegang. Ia duduk dengan kaku sementara tangan kanannya menggerakkan wacomnya.

"Itu gimana pakainya?" tanya Adria tertarik dengan alat pengganti mouse berbentul bolpen itu. Benjy mengangsurkan pen wacom yang ia pakai dan menggeser letak tatakannya. Adria menggoyang-goyangkan pen itu diatas persegi panjang hitam yang merupakan sensor supaya pen itu bisa digunakan.

"Bisa buat nggambar?" Adria masih mengagumi alat itu. Ia pernah melihat alat itu di iklan yang ada di majalah komputer tapi tidak pernah melihat barang aslinya. Orang seperti Benjy yang pekerjaannya menggambar pasti membutuhkan alat seperti ini.

Benjy membuka salah satu program menggambar dan Adria mulai mencoret-coret di atas tray sensor itu. Gadis itu tersenyum setelah selesai membuat dua lengkung gunung ala anak SD dan menambarkan sebuah matahari yang bersinar cerah, lengkap dengan wajahnya.

Benjy menyukai hari yang sempurna ini, sampai saat ayahnya datang dan melihat Adria dengan wajah tegang.

"Siapa, Ben?" air muka ayah Benjy sangat kaku. Ia tidak suka dengan apa yang dilihatnya. Adi yang tadi ada di sebelahnya segera bersembunyi di belakang ayahnya saat melihat Adria.

Adria berdiri dengan kukik dan langsung tersenyum ketika melihat Adi, setidaknya ada wajah yang familier. "Lho, Di... kok malah sembunyi... sini tos sama kakak dulu."

Adi terlihat berpikir sejenak kemudian ia mendekat ke arah Adria dan menyambut tangan Adria yang sudah terulur di udara. "Nah, gitu kan sip!"

"Ben, kamu tahu Bapak nggak suka kamu bawa orang asing." Suara ayah Benjy tajam dan menakutkan sehingga mengurungkan niat Adria untuk menyapanya.

"Bapak masuk dulu, aku kenalkan. Setelah kenal kan nanti tidak jadi orang asing lagi."

Adria sampai terperangah. Ternyata Benjy bisa juga bicara dengan normal. Bukan berarti selama ini ia mengira cowok itu punya kelainan jiwa seperti yang dituduhkan Ola, hanya saja ia tidak pernah mendengar pria itu berkata lebih dari 3 kata, bahkan saat mengajar menggambar pada anak-anak.

"Nggak perlu, Bapak nggak suka orang nggak dikenal." Si ayahpun hilang dari pandangan Adria. Gadis ini tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat Benjy juga ikut melangkah keluar meninggalkannya dengan Adi yang sekarang sudah menghampiri komputer.

"Kalau Bapak tidak berusaha, Bapak selamanya akan diam di tempat." Adria masih bisa mendengar suara Benjy samar-samar. Dahinya berkerut. Pasti pembicaraan mereka sudah beralih dari dirinya.

"Kamu lupa kalau kamu bisa mencelakakan orang!" suara ayah Benjy tiba-tiba terdengar karena ia menaikkan intonasinya,

"Aku akan berhati-hati." Jawaban Benjy bernada pahit.

Adria merenung. Entah apa yang mereka perbincangkan tapi Adria mendapat firasat kalau yang seharusnya mendapat julukan aneh adalah ayah Benjy dan bukan Benjy sendiri. Entah bagaimana para penduduk sini menilai seseorang.

Gadis ini mendesah, tidak enak sendiri dengan pemikiran yang baru melintas di benaknya. Adi masih di depan komputer, memainkan sebuah game yang tidak dikenal Adria. Adria duduk di dekat Adi sambil mengedarkan pandangan menelusuri setiap sudut ruangan yang bernuansa kuning itu. Beberapa poster film animasi tergantung di dinding. A Bug's life. Adria mengenali film itu. Ia berdiri dan mendekat untuk melihat poster itu.

Matanya tertumbuk pada setumpuk kertas yang ada di atas kasur. Ia membaca tulisan di atasnya. Empat: one, two, three, four.

Ah! Mata gadis ini berbinar, itu pasti gambar-gambar dari lagu itu. Dengan semangat Adria meraih setumpuk kertas itu. Dahinya langsung berkerut saat melihat panel pertama. Ia pun membaca keterangannya.

Scene 1. INT. Rumah sakit-siang.

Ini bukan lagu itu, Adria menyadarinya. Seorang gadis tergambar di dalam kertas itu, menyibakkan selambu yang membataskan pasien satu dengan pasien yang lain. Mata Adria beralih ke panel yang kedua. Masih sama, gadis itu membuka selambu yang lain dan pasien di dalamnya terkejut.

Mata Adria bergerak cepat. Gadis itu menabrak nampan makan. Brak! Nampan itu jatuh, menimbulkan suara nyaring. Gadis itu bergerak ke arah pasien yang menutup selimutnya rapat-rapat dan menyentuh tangannya sambil mengucapkan 'maaf'.

Adria membuka terus halaman demi halaman. Ini adalah dia. Gadis di dalam gambar ini adalah dirinya. Ini kejadian itu, saat ia tahu Ditya mengkhianatinya dengan Henny. Beny menggambar rentetan peristiwa itu. Adria membalik halaman terakhir, dan terkejut. Enam panel terakhir ini tidak terjadi pada dirinya. Seseorang mengubah ceritanya. Benjy mengubah akhir ceritanya, layaknya seorang sutradara yang memutuskan apa yang akan terjadi di filmnya... layaknya Tuhan yang mengukir kehidupan tiap manusia dalam buku kehidupan. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 26, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

EmpatWhere stories live. Discover now