Ditya kembali memanjangkan kepalanya, mencoba mencari dokter Wahyu. Belum ada. Ia malah melihat ruang tunggu puskesmas yang makin lama makin penuh padahal jam masih menunjukkan pukul 8 lewat sedikit. Kalau ia sekarang ada di klinik kampusnya, pasti masih belum ada kehidupan di sana. Kehidupan di kota kecil memang selalu dimulai lebih awal dari kota besar.Seorang ibu setengah baya dengan baju kuning dan jilbab hijau menuding-nuding Ditya saat cowok ini memutar kepalanya untuk berbicara kepada Erwin, temannya. Ditya menahan kalimat yang hendak ia keluarkan dan kembali menoleh ke arah ruang tunggu. Ibu itu masih menunjukkan jari telunjuknya tepat ke arahnya. Ditya reflek menunjuk dirinya sendiri dan berdiri saat ibu itu mengangguk.
"Kemana, Dit?" tanya Erwin saat melihat teman satu angkatannya itu beranjak masuk ke ruang tunggu.
"Sampeyan artis ya?" tanya ibu itu langsung bahkan sebelum Ditya sampai di hadapannya. Cowok berumur 21 tahun ini menghentikan langkahnya, terkejut dengan tuduhan yang sama sekali tidak ia sangka itu.
"Saya, Bu?" tanya Ditya berusaha memastikan, satu tangannya masuk ke kantong jas almamater yang selalu ia kenakan saat datang ke puskesmas ini.
"Iya, kamu, Nak. Artis?" ibu itu bertanya lagi. Sekarang Ditya bisa melihat jelas ekspresi penasaran di wajah ibu itu. Jelas sekali ia ingin mendapatkan sebuah anggukan dari Ditya. Sudah terbayang di kepalanya apa yang akan ia ceritakan ke suaminya juga anak gadisnya yang tadi menolak mengantarkannya ke puskesmas.
Ditya sudah menggelengkan kepalanya tapi sebuah teriakan menenggelamkan gelengan kepala itu. "Artis dong, Bu! Dari Jakarta lho. Calon dokter pula!" suara Icha, mahasiswa keperawatan yang juga sedang magang di puskesmas Pakis.
"Nggak kok, Bu." Ditya cepat-cepat mengelak.
"Bener, Bu. Mas Ditya ini emang malu-malu. Tapi terkenal lho Bu," Icha lagi lagi membuat Ditya tersenyum kecil.
"Tuh, kan, Bu... ganteng!"
Erwin nyengir sendiri melihat wajah Ditya yang berubah dari merah menjadi semakin merah. Nggak di kota nggak di desa, fansnya seabreg. Ponsel Erwin bergetar. Sebuah pesan line masuk.
Papa seminar ke Malang, pulangnya ntar malam. Sori tadi telat bangun jadi nggak bikinin sarapan. Bilang sori juga ke Ditya ya.
Senyuman Erwin melebar saat membaca pesan line itu. Kalau ia sekarang ada di dunia kartun pasti bibirnya bisa ditarik sampai ke telinga saking senangnya membaca pesan line dari Ola itu. Cepat-cepat jarinya mengetikkan balasan.
Ok. Thx
Sent.
"Oi, Dit! Sarapan yuk!"
Ditya menoleh, wajahnya terlihat sangat lega sekali seakan panggilan Erwin tadi berhasil melepaskannya dari terkaman singa. "Dokter Wahyunya?" Ditya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan mendekat ke Erwin.
YOU ARE READING
Empat
Teen FictionSatu detik saja harus kulalui tanpa melihatmu, Dua mataku menjadi sepi. Tiga detik... bagaimana mungkin kau memintaku menunggu selama itu. Empat. Aku akan mengatakannya dalam hitungan keempat. Satu, dua, tiga... empat Empat. Inilah perasaan terdal...