Semua yang terjadi dalam kehidupan adalah proses yang memang Tuhan izinkan untuk terjadi. Tuhan biarkan itu ada dalam perjalanan kita untuk menjadikan kita lebih dewasa dan lebih kuat.
"Rae... Jangan tegang begitu." Leander bisa merasakan kegugupan gadis itu. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Leander. Leander sudah mengatakan pada kedua orang tuanya bahwa dia akan memperkenalkan seseorang pada mereka.
"Maunya juga nggak tegang, Pak. Tapi susah," ujar Ranice tanpa dapat menyembunyikan kegugupannya.
"Santai aja. Papa Mama pasti akan menerima kamu dengan baik." Leander berusaha membesarkan hati Ranice.
"Apa yang membuat Bapak yakin kalau mereka akan menerima saya? Sementara Mbak Becky yang sesempurna itu aja nggak dapat respon yang positif padahal udah bertahun-tahun kenal dengan mereka? Apa lagi saya? Gadis ingusan tanpa prestasi dan berasal dari keluarga biasa!" Jujur saja Ranice memang merasa sangat minder. Apalah dirinya jika dibandingkan dengan Becky?
Dilihat dari sisi manapun juga, Becky jauh lebih dalam segala hal darinya. Ditambah dengan kenyataan bahwa Leander memang mencintai wanita itu. Sementara dirinya? Sudah tidak memiliki modal apa-apa, tidak dicintai juga oleh Leander, dan ketika nanti mendapat penolakan dari orang tua Leander, maka lengkap sudah!
"Nggak tahu, tapi aku yakin mereka akan menerima kamu. Entahlah ...," ujarnya santai.
"Jangan terlalu yakin dulu, Pak!"
"Rae ... Stop panggil aku bapak. Papa Mama bisa curiga." Leander mengingatkan.
"Terus saya harus panggil apa?" tanyanya bingung.
"Panggil aja Lee!"
"Gimana ceritanya nama Pak Axel jadi Lee?" tanya Ranice penasaran.
"Itu nama kecilku, disingkat dari 'Leander'." Dia mengangkat bahu tidak peduli.
"Tapi kenapa semua orang panggil kamu Axel?" tanyanya semakin penasaran.
"Karena yang panggil aku 'Lee' cuma keluarga aja." Ranice merasa sedikit heran, karena setahunya bahkan Becky memanggil pria ini Axel.
Leander memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya, kemudian memberi kode agar Ranice mengikutinya turun.
"Ayo, masuk!" bisik Leander di telinga Ranice. Digenggamnya tangan gadis itu yang sedikit gemetar. Ada sedikit rasa bersalah terselip dalam hati Leander karena menyeret Ranice dalam sandiwara ini.
Ranice setengah mati menahan dirinya agar tidak berlari meninggalkan rumah Leander. Rasa gugup menderanya. Kakinya sulit untuk digerakkan, tangannya kaku, dan bibirnya terlihat pucat.
"Hei! Rileks, Rae ...," bisik Leander menenangkan. "Muka kamu kaya orang mau dibantai gitu."
"Lee... Sudah pulang?" sapa Adelia dari meja makan ketika menyadari kedatangan Leander. Tanpa sadar dia mulai menilai gadis yang tengah berjalan berdampingan dengan putranya.
Daniel yang sedang menikmati makan malamnya, mengangkat kepala ketika tangan sang istri menepuk perlahan kakinya di bawah meja. Pandangannya segera jatuh pada sesosok gadis yang berdiri tegang di sebelah Leander.
"Siapa ini?" tanya Adelia tersenyum ramah. Adelia berjalan mendekat dan merentangkan tangannya menyambut Ranice.
"Pa ... Ma ..., kenalkan. Ini Ranice." Leander mempererat pegangannya pada bahu Ranice.
"Selamat malam, Tante, Om," ujar gadis itu gugup sambil membungkukkan badannya.
"Ayo ikut makan!" ajak Adelia, merangkul pundak Ranice dan menuntunnya duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artificial Wife
ChickLitWattys 2018 - WINNER The Contemporaries "Jika seandainya untuk selamanya kamu tetap tidak bisa memandangku, setidaknya biarkanlah laguku tetap mengalun untukmu." Lee, seorang produser ternama, memutuskan untuk mengikat diri dalam sebuah pernikahan k...