When you've been strong for so long, sometimes you just need time to be alone and let your tears out.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Ranice dingin ketika mendapati Theo menunggunya di recording room. Padahal dalam lima belas menit dia akan melakukan proses recording bersama Leander.
"Aku cuma mau mengantarkan ini." Theo menyorongkan sepucuk kartu undangan ke tangan Ranice.
"Kenapa harus diantar ke sini? Kenapa nggak ke rumah aja? Kamu mau memancing gosip tentang hubungan kita?" tanyanya kesal. Tidak ada lagi keinginan untuk bersikap manis dengan pria yang pernah mengisi hatinya selama tujuh tahun itu.
"Aku nggak sanggup lagi ketemu sama Om Anton. Rasanya udah cukup menyiksa waktu terakhir aku jelasin semua dan minta maaf sama Om karena udah nyakitin kamu," ujar Theo tertunduk. "Lagian kalau sampai jadi gosip juga nggak apa-apa."
"Konyol! Dulu waktu kita masih sama-sama, kamu nggak pernah mau hubungan kita tercium publik. Tapi sekarang, waktu hubungan kita udah tamat, kamu malah mau orang-orang tahu!" balas Ranice sinis.
"Maaf. Harusnya dari dulu aku nggak perlu nutupin hubungan kita," sesalnya.
"Udah, nggak perlu dibahas lagi. Makasih undangannya." Ranice mengambil undangan yang disodorkan oleh Theo.
"Aku nggak terlalu berharap kamu bakal hadir. Aku tahu ini akan terlalu menyakitkan buat kamu, harus melihat aku menikah dengan wanita lain. Aku juga nggak yakin akan sanggup bertatapan sama kamu nanti." Suaranya terdengar sangat berat. Kalau saja keadaannya berbeda, maka Ranice tidak akan mungkin sanggup melihat Theo dalam keadaan yang menyedihkan seperti saat ini. Dia pasti akan segera memeluk pria itu untuk menghiburnya.
"Hmm." Hanya itu tanggapan yang diberikannya.
"Rae, apa benar-benar nggak ada lagi kesempatan buat kita?" Theo masih mencoba untuk terakhir kalinya. Meski dia tahu rasanya tidak mungkin mengubah pikiran Ranice.
"Nggak perlu menanyakan hal yang kamu udah tahu jawabannya, Theo. Lagian apa kamu nggak sadar, kamu melontarkan pertanyaan tentang kelanjutan hubungan kita di saat kamu datang untuk mengantarkan undangan pernikahan?" tanyanya ketus. Ironis sekali rasanya.
"Rae, aku bisa bercerai dengan Bella setelah bayinya lahir nanti. Setelah itu kita mungkin bisa kembali bersama." Theo tahu ini benar-benar langkah yang salah. Ranice akan semakin membencinya karena perkataannya ini. Tapi dia tidak bisa menahan diri untuk mengatakannya.
"Apa kamu udah kehilangan semua kewarasan kamu?!" bentak Ranice. Dia jarang sekali marah, apalagi sampai membentak orang. Tapi kali ini Theo benar-benar keterlaluan.
"Aku emang udah gila rasanya, Rae. Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu," teriak Theo frustasi.
"Theo, buat aku pernikahan cuma terjadi satu kali seumur hidup. Nggak ada yang namanya perceraian. Itu yang ditanamkan sejak kecil sama aku, dan prinsip itu yang aku pegang sampai kapan pun," balasnya dingin.
"Tapi ini kasus yang berbeda, Rae. Pernikahan aku sama Bella terjadi karena kesalahan."
"Nggak ada pengecualian, Theo. Nggak peduli karena apa. Jangan terus menumpuk kesalahan kamu dengan kesalahan lainnya lagi," tandas Ranice.
***
"Rae ... Tempo," tegur Leander dari balik kaca.
"Maaf, Pak!" Ranice menghela napasnya. Mencoba mengumpulkan pikirannya yang terpecah ke mana-mana.
"Kita coba lagi," ujar Leander setelah Ranice terlihat siap.
Ranice kembali mencoba memainkan pianonya setelah Leander memberi tanda dari balik kaca, baru dua bar dan suara pria itu kembali terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artificial Wife
ChickLitWattys 2018 - WINNER The Contemporaries "Jika seandainya untuk selamanya kamu tetap tidak bisa memandangku, setidaknya biarkanlah laguku tetap mengalun untukmu." Lee, seorang produser ternama, memutuskan untuk mengikat diri dalam sebuah pernikahan k...