Semua orang segera berteduh ketika hujan datang tanpa memberi aba-aba. Tak terkecuali Iqbal, dia menggenggam tanganku, dan berlari mengajakku untuk berteduh.
Angin berhembus kencang tepat setelah kami tiba di sebuah tenda bazar yang baru saja menjadi tempat kami berteduh.
"Dingin?" Tanya Iqbal ketika melihatku mengusap tanganku.
"Dikit," jawabku lalu menengadahkan tanganku kedepan, membiarkan telapak tanganku menerima derasnya hujan.
Cukup sebentar, hujan yang tadinya sangat lebat mulai mereda dan meninggalkan rinai.
Iqbal juga mengikuti aktifitasku membiarkan telapak tangannya terkena hujan. Namun sedetik kemudian, dia segera memercikan air hujan ke wajahku.
Aku melihat padanya dengan kesal, sedangkan dia tersenyum, seakan-akan tidak melakukan apapun. Melihat dia yang tidak merasa bersalah sama sekali, aku membalas perbuatannya dengan hal yang sama.
Iqbal juga membalasku, namun belum sempat aku membalasnya 'lagi', Iqbal 'melarikan diri' membelah hujan sambil tertawa.
"AWAS LO YA!" ucapku ketika berusaha mengejarnya.
Alhasil kami seperti anak kecil yang bermain hujan tanpa memedulikan lingkungan sekitar kami.
"Ampun, ampun!" Ucapnya ketika aku berhasil mendapatkannya dan mencubitnya.
"Noo!" Ucapku tak menghadiahi ucapannya. Aku malah semakin menjadi membalaskan perbuatannya.
Tiba tiba saja tanganku di genggam Iqbal dan dia mengkuncinya di belakangku. Cukup kuat tapi tidak menyakiti pergelangan tanganku. Jarak kami sangat dekat. Nafasnya tidak teratur. Bahkan aku bisa melihat wajahnya yang basah karena hujan. Aku tidak bisa melepaskan genggamannya karena kekuatan Iqbal tidak bisa kulawan, sehingga kalau orang lain melihat kami, mungkin akan terlihat seperti orang yang berpelukan di tengah hujan.
"Hmm, Bal, bisa lepaskan gue? Gak enak diliatin" Aku mulai merasakan jantungku tidak bisa berkompromi.
"Gue enggak bakal ngelepasin elo lagi," ucap Iqbal menatap mataku
"Maaf?" Aku kaget. Sehingga hanya kata itu yang bisa ku lontarkan.
"Lupakan," ucapnya. Ia melepaskan genggamanya dan tersenyum "pulang yuk, gue enggak mau kalau elo entar sakit,"
"Oke," ucapku berusaha menenangkan jantungku.
○●○
Awan malam itu masih menumpahkan isinya. Aku dan Iqbal sedang berada di pasar kuliner, karena tadi sebelum kami tancap gas dari pasar malam, Fikri menitip beli martabak. Iqbal yang pergi membeli, sedangkan aku hanya menunggu didalam mobil, karena tidak di izinkan Iqbal untuk hujan-hujanan lagi.
"Maaf, lama ya?" Ucap Iqbal ketika masuk ke dalam mobil dan memberikan jajanannya
"Enggak kok," ucapku. Aku menerima barang belanjaannya "kok banyak?"
"Buat elo juga," ucapnya menstarter mobil "lo belum makan,"
"Owhh, ini," ucapku memberikan selembar uang seratus bermaksud menggantikan uangnya yang terpakai
"Simpan aja, anggap aja gue yang traktir," ucapnya menolak uang dariku. Mobil Iqbal mulai melaju.
"Thanks, gue jadi gak enak,"
"It's okay,"
Aku membuka salah satu kotak makanan yang isinya donat. Kalau di bilang lapar, aku sih enggak lapar. Tapi cuma pengen ngemil.
"Lho jugha haruss makhan," ucapku pada Iqbal dengan mulutku yang penuh
"Telen dulu, baru ngomong," ucapnya tersenyum.
"Lo juga harus makan," ulangku
"Lo aja. Gue kenyang,"
"No, lo janji gak bakalan telat makan 'kan?" Aku segera mencomot donat, dan menyodorkannya ke Iqbal
"Kap...." Ia tidak bisa menyelesaikan ucapanya, karena donat sudah mendarat di mulut Iqbal.
"Nah gitu dong," ucapku tertawa. Sedangkan Iqbal menatapku dengan kesal. Tidak mungkin kan makanan itu di muntahkannya lagi.
Kami hanya diam sepanjang perjalanan, sampai entah sejak kapan mataku mulai mengantuk. Mungkin juga dipengaruhi Iqbal membawa mobil dengan sangat tenang.
Rasanya, aku baru saja menutup mata, dan sekarang aku merasakan mobil Iqbal tidak melaju lagi.
"Udah sampai?" Tanyaku pada Iqbal sambil melihat sekililing
"Ehh, lo udah bangun?" Tanya Iqbal balik
"Hmm," ucapku ketika aku sadar ternyata sudah sampai di depan rumahku. Iqbal turun dari mobil dan membantu aku yang masih setengah sadar
"Ya ampun, kalian lama banget sih, katanya 15 menit nyampe, tapi nyatanya 2 jam," ucap Fikri seperti emak-emak yang membukakan pintu untuk kami "dan lagi, kalian habis ngapain, baju kalian pada basah?"
"Brisik aja lo, kayak bajaj," semprotku pada Fikri
"Kampret, gue nggak ngapa-ngapain, lo pikir hujan itu yang turun api? lagian kami lama juga karena pesenan elo nyet," ucap Iqbal sambil memberikan titipan Fikri.
Kami di persilahkan masuk ke rumah dan Fikri segera membuka martabaknya.
"Nasya nginap aja dulu, kasian baru tidur, kayaknya kesenengan dapet adek baru," ucap Fikri "Lo juga bisa nginap, udah malem banget. Lagian diluar masih hujan, lo bisa pake baju gue dulu
"Apakah gak ngerepotin Fik. Gue pulang aja, biar enggak ngerepotin ayah sama Ibu" ucap Iqbal
"Sans, btw kok lama amat sih lo?"
Dari percakapan Iqbal dan Fikri aku menangkap, ternyata Iqbal sengaja memilih jalan paling jauh untuk pulang karena tidak enak membangunkan aku yang tertidur pulas.
"Yaudah, lo istrirahat Vind," ucap Iqbal padaku yang dari tadi sedang mengecek ponselku tanpa sadar bajuku masih basah. Ia menatapku sambil mengelap sudut bibirku.
Aku menghindar, seakan bertanya lo mau ngapain?
"Makan aja belepotan," ucapnya. Aku paham ternyata ada sisa coklat dari donat yang aku makan tadi di sudut bibirku.
Tuhan, bisakah Engkau memberikan pria seperti ini padaku? Pria yang memperlakukanku secara spesial dan membuat seluruh tubuhku tidak sinergis? Aku membatin ketika mendapat perlakuannya. Kalau di fikir, dari sebelum pergi, sudah terlalu banyak dia memeperlakukanku seperti ini.
"Pak, buk. Romantisannya entar aja. Udah malam. Belum mahram juga," ucap Fikri jengah
Iqbal segera melempar bantal sofa yang ada di ruang keluarga ke Fikri.
Dan aku hanya tersenyum lelah lalu menuju ke kamarku.Aku melempar hp ke kasur dan mengganti pakaian. Saat mengganti pakaian, Sayup sayup aku mendengar percakapan mereka.
"Lo pengen ulang dari awal lagi?" Ucap seseorang yang sepertinya suara Fikri
"Izinkan gue buat reset semuanya Fik," jawab lawan bicara yang sepertinya Iqbal
"Lo yakin gak bakal nyakitin dia lagi?"
"Lo bisa bunuh gue kalau sampai dia nangis,"
"Lebay lo, trus apa kabar anak gue kalau gue tiba-tiba gue masuk penjara karena bunuh elo,"
Aku yang sayup-sayup mendengar percakapan itu tidak ingin mengetahuinya lebih lanjut. Hanya tidak ingin membuat persepsi sendiri, kalau yang dibicarakan itu adalah aku.
Sepertinya gue harus memeriksakan diri ke dokter. Akhir-akhir ini jantung gue berdetak enggak normal lagi. Dan itu semua gara-gara elo. Batinku sambil menarik selimut menutupi badanku.
Hujan,
memang membawa berkah
Setidaknya aku merasakan kehangatan dibawah hujan
Yang sebelumnya tidak pernah kurasakan
Hujan yang jadi saksi bisu kisahku
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Short StoryHighest rank #1(16/01/2018) in short story Ketika hujan adalah tempat terbaik dalam bercerita, saksi utama dalam perjalanan hidupmu, teman terbaik ketika semua merasa berantakan.