The End

4.6K 194 22
                                    


Aku mendengar suara tangisan bayi. Keras dan cukup membuatku terbangun dari tidurku. Namun belum sempat aku membuka mata, Iqbal bergerak turun dari kasur dan segera menimang Attaya--anak pertama kami yang baru berusia 4 bulan-- dari box bayinya.

"Ssst.. cup cup. Jangan nangis sayang, Papa disini nak," ucap Iqbal seraya menimang Attaya. Aku masih sengaja untuk menutup mata, memberikan waktu untuk Iqbal dan Attaya.

Aku jadi ingat saat aku dinyatakan Hamil, setelah setahun menunggu. Iqbal bersikap biasa saja, bahkan aku menyangka tidak bahagia dengan kehadiran Attaya saat itu.

Namun prasangka aku salah, dia begitu karena terlalu kaget. Dia bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun untuk meluapkan kebahagiannya selain rasa syukur. Dia bahkan mewujudkan rasa syukurnya dengan menyumbang separo dari tabungan kami untuk saudara kami yang kurang beruntung.

Dia bahkan menjadi suami siaga, saat aku ngidam yang aneh-aneh dia selalu berusaha mengabulkannya, dia selalu membuatkan susu ibu hamil dipagi hari dan menyiapkan gizi yang tepat dan seimbang untukku dan calon anak kami.

Dia yang sebelumnya pernah beberapa kali di opname karena drop di kantornya, mulai berubah semenjak saat mendengar kabar kehamilanku, Iqbal benar-benar mengatur pola makannya yang sebelumnya berantakan.

Kehadiran Attaya, merubah Iqbal. Dia berubah menjadi lebih dewasa dan bertanggungjawab. Dan aku menyukai itu.

"Haus ya nak? Aduh, tahan dulu ya sayang, kasian mama, mama pasti capek nak," ucap Iqbal gemas pada Attaya, sedangkan Attaya yang awalnya menangis lalu terdiam sebentar dan menangis lagi.

Aku segera tersadar dari lamunanku dan bangkit, karena sepertinya Attaya membutuhkanku.

"Aduhh, anak mama haus ya," ucapku langsung mengambil Attaya dari gendongan Iqbal.

Aku duduk di sisi ranjang dan segera menyusuinya walau sebenarnya mataku mengantuk. Sedangkan Iqbal memainkan tangan Attaya yang menggenggam telunjuk Iqbal.

Aku melihat jam, ternyata sudah pukul setengah enam pagi. Ternyata aku terlambat bangun pagi.

"Bal, kamu mandi dulu deh. Entar kalau udah mandi, kita gantian jagain Aya a.k.a Attaya,"
Kenapa aku menyuruh Iqbal mandi cepat? Karena hari ini adalah hari kedua lebaran, setelah kemaren kami--aku, Iqbal, Attaya dan Nasya--berkunjung ke rumah ayah dan lalu bunda untuk menemui keluarga mertuaku. Hari ini giliran aku Iqbal dan Attaya yang berkunjung ke rumah ayah dan ibu tanpa Nasya karena dia lagi di rumah Ayah mertuaku.

"Mager" ucap Iqbal yang lalu berbaring di kasur.

"Yaudah, Inda sama Attaya aja yang pergi, kamu tinggal di rumah aja,"

"No! Entar ada apa-apa sama kalian lagi. Aku enggak mau mengulang kesalahanku," ucap Iqbal yang segera bangkit dan mengambil handuk

Setelah memandikan Attaya dan mengganti pakaiannya, aku berencana menyiapkan sarapan dan lalu mandi untuk bersiap pergi.

"Lho? Kamu masak ya sayang," tanya Iqbal seraya menggendong Attaya.

"Hemm," gumamku. Apa dia bertanya seperti itu karena aku tidak bisa memasak, jadi dia malas makan makanan aku.

"Kata ayah sama Ibu sarapan di sana aja," ujar Iqbal cepat yang sepertinya menyadari kalau aku berprasangka buruk padanya.

"Ohh, oke. Inda mandi aja dulu. Aya, jangan nakal sama papa ya nak," ujarku. Untung saja aku belum memasak. Masih memotong-motong bahan.

***

"Assalamualaikum" ucap aku memasuki rumah.

"Walaikumsalam," ucap Elena "Ya ampun kakak, Aya. Minal aidzin walfaizin kak,"

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang