[5. kenapa]

1.7K 399 39
                                    

❗Jangan lupa jejak❗

 
 

Bukannya membawa Cakra ke rumah Alexa, Nindi malah pergi ke rumah Dimas. Tapi masuk akal saja, ia tak mau nantinya Alexa menuduh-nuduhnya melakukan semuanya pada Cakra. Lebih baik ia cari aman daripada harus di bully lgi oleh Alexa.

Kini ia berdiri berusaha memencet bel yang lumayan tinggi, sedangkan Cakra ia senderkan di tembok pilar dekat tangga rumah Dimas.

Seorang pengurus rumah tangga pun muncul setelah beberapa kali bel di pencet "Non siapa ya?"

"Eh, selamat siang Bi. Saya temen sekolah Dimas. Dimasnya ada, Bi?"

Bibi itu mengintip ke belakang Nindi dan shok mendapati Cakra babak belur. "Astaga kok den Cakra bisa-"

"Makanya tolong panggilin Dimas ya Bi. Kasian nanti Cakra mati"

Tentu saja Cakra mendengar kalimat yang di ucapkan Nindi, ia mungkin memang tak bisa bereaksi kecuali senyumnya yang tersungging dengan gelengan kecil. Bagaimana bisa ia mati hanya karena bertengkar?

Hmm tapi kalau di pikir-pikir ini memang yang terparah yang pernah  di alami Cakra.

Langsung saja Bibi itu berlari masuk. Sedangkan Nindi berbalik menghampiri Cakra yang sudah sekarat. Tanpa disadari ia menggenggam erat tangan kanan cowok itu dengan penuh kekhawatiran.

Dimas akhirnya keluar, di sambut mimik cemas dari Nindi. Beberapa detik Dimas menatap Nindi, ia hampir tersenyum jika saja ia tak melihat keberadaan Cakra di lantai. Serta tangan Cakra dan Nindi yang saling menggenggam.

"Kok malah bengong?? Ayok buruan bantu gue!" Tegur Nindi.

Dimas tersadar dan bergerak cepat merangkul Cakra, begitu pula dengan Nindi. Mereka pun bergegas membawa Cakra ke kamar Dimas, menaiki tangga yang lumayan cukup jauh.

"Kalo tau kamar lo bakal sejauh ini, mending baringin dia di sofa  aja tadi" dumel Nindi kelelahan.

Dimas tak menjawab, ia hanya tersenyum gemas melihat Nindi menggembungkan pipinya menahan letih.

Bruk!

Tubuh Cakra terambau ke atas kasur, Nindi yang melepaskan rangkulannya terlebih dahulu. Dimas sampai kaget dibuatnya.

"Yaudah, gue pamit. Jangan lupa panggilin dia dokter, oke? Mungkin aja tangannya keseleo atau patah, gue nggak tau" ucap Nindi sebelum beranjak pergi.

"Tunggu!"

Nindi menoleh terkejut sebab Cakra dan Dimas memanggilnya secara bersamaan.

"Loh, elo nggak pingsan?" Cengo Dimas.

Tangan Cakra terangkat, dua jarinya bergerak memanggil mengisyaratkan agar gadis itu mendekat. "Sini"

Nindi beringsut ke arah Cakra.
"Apaan?"

Hap!  Tangannya di tarik membuatnya terduduk di pinggir kasur.

"Jagain gue..." ucap Cakra serak.

"What?" Nindi menoleh ke arah Dimas. Namun hanya di balas gidikan bahu oleh cowok beralis tebal itu.

"Gue harus pulang, lagian lo bisa kan hubungin orang di rumah lo. Di sini juga ada Dimas"

Nindi mencoba melepaskan cekalan tangan cowok itu. Sudah sekarat ternyata tenaga Cakra masih tak bisa ia kalahkan.

"Lepas!"

"Woi, lo diem aja gituh? Bantuin kek!" Tegurnya ke Dimas.

"Cak, lepasin dia" ucap Dimas dengan nada canggung. Ia bingung harus apa.

Pegangan Cakra melemas, dan akhirnya cowok itu benar-benar kehilangan kesadarannya.

"Sukurin pingsan beneran!"

"Yaudah gue pamit ya!" Ucapnya ke arah Dimas.

Belum juga langkahnya mencapai pintu, tangan jahil Dimas terulur menarik ikat rambut Nindi, membuat gadis itu agak terkejut hingga menoleh dengan cepat.

Rambut panjangnya menyibak udara di depan wajah Dimas, memberikan efek dejavu yang begitu nyata. Ia teringat dengan kejadian beberapa malam yang lalu.

Satu kata yang keluar dari mulut Dimas, "wangi"

"Yak! Ikat rambut gue?" Protes Nindi kesal. "Kalian berdua nyebelin banget sih!"

Dimas tersenyum tipis, mengangkat tinggi tangan kanannya menjauhkan Nindi dari ikat rambut itu.

"Dimas!"

"Dari mana tau nama gue?" Tanya Dimas masih betah melihat cewek di depannya melompat-lompat hendak mencapai benda di tangan Dimas.

"Bukan urusan lo! Balikin ikat rambut gue!"

"Lo tau nama dia?" Tunjuk Dimas ke Cakra.

"Tau lah. Cakra kan?"

Dimas mengangguk tersenyum tipis, ia kira Nindi hanya tahu namanya dan berpikir ia istimewa, ternyata tidak. Di saat Dimas lengah karena kepikiran hal itu, Nindi langsung merebut ikat rambutnya kembali.

Nindi menyipitkan matanya sinis menandakan kekesalannya.
"Oke bye! Ga akan lagi gue kesini!" Pamit Nindi berlalu meninggalkan Dimas yang masih terdiam.

Sepeninggalan Nindi, Dimas menyuruh pembantunya untuk mengurus Cakra. Sedangkan ia berjalan ke arah jendela memperhatikan gadis itu melangkah pergi dari halaman rumahnya.

 
°°°

Aneh. Nindi merasa berbeda saat masuk ke rumah Dimas, seakan rumah itu memberikan aura tarikan pada tubuh Nindi.

Sebelum keluar pun, ia tak sengaja melihat seorang gadis seumurannya tidur dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka. Jiwa keponya makin lama makin menjadi. Pertanyaan yang muncul di kepalanya begitu banyak hingga ia tak tahu harus mempertanyakan yang mana dulu. Namun yang paling pertama, kenapa semua rumah punya anak gadis?

To be continued.
Lanjut?

PANTHERO SECRET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang