Kebisingan kelas karena jam kosong pada mata pelajaran terakhir, tak membuat Acha sedikitpun merasa terganggu. Ponsel yang biasanya selalu ada dalam genggaman, kini ia biarkan tergeletak di atas meja. Pikirannya entah, sudah melayang kemana. Sedari tadi, yang ia lakukan hanyalah manatap kosong kedepan, sambil mencorat-coret bagian belakang buku tugasnya.
"Acha! Gue Bima dan gue suka sama lo!"
Pernyataan Bima kemarin sore, masih terekam jelas dalam memori Acha. Senyuman miring Bima yang kocak dan terkesan gila, juga terus muncul setiap kali Acha membuka mata. Acha benci mengingatnya tapi, sekeras apapun Acha mencoba untuk lupa akan kejadian itu, semakin Acha terbayang wajah Bima yang abstrak. Konyol.
Waktu itu, Acha sama sekali nggak bisa ngomong apa pun. Yang ia lakukan cuma diam dan memandangi laki-laki yang masih menunggu jawabannya dibawah sana. Laki-laki gila yang ia temui dua hari lalu. Laki-laki gila, yang tiba-tiba memperkenalkan dirinya dihadapan semua orang, dan memaksa Acha untuk mengakui bahwa ia tampan.
Hingga akhirnya, Acha mengucapkan;
"Setres!"
Tuk! Ia melemparkan kembali botol yang Bima lempar, sampai mendarat mulus mengenai wajah laki-laki itu.
"Acha..." sebuah panggilan lirih dari seorang gadis, membuyarkan lamunan Acha. Ia menoleh ke sumber suara. Ah, dia Dinda. Perempuan berambut panjang yang selalu digerai dengan indahnya. Perempuan paling cantik di kelas ini, yang selalu jadi idola kaum adam.
"Ya?" jawab Acha singkat, sambil merapikan buku-bukunya yang berserakan di atas meja.
"Kita.., apa kita masih bisa jadi seperti dulu lagi? Kita pernah dekat Cha. Kita udah bersahabat dari SMP 'kan?"
Acha tersenyum sinis. Matanya menatap tajam Dinda yang berdiri dihadapannya. "Kamu bilang kita sahabat? Jangan terlalu baik sama Aku Din. Aku belum tentu bisa membalas kebaikanmu." katanya datar, membiarkan gadis cantik didepannya menelan ludah dengan susah payah.
Dinda menghela napas berat. Entah kenapa, dadanya selalu terasak sesak setiap kali melihat Acha mengabaikannya. "Aku peduli sama kamu Cha. Kita sahabat. Aku kangen setiap kali kita main bareng. Setiap kali kamu curhat sama aku. Aku kangen kita pulang bareng. Aku kangen Cha."
"Maaf. Tapi kalau rasa pedulimu itu, cuma untuk menambah popularitas kamu. Lebih baik, simpan dan berikan pada orang lain. Karena aku, tidak butuh." Acha menenkankan kalimat terakhir nya. Wajahnya terlalu lembut untuk ukuran gadis kasar, yang selalu jadi sorotan. Tapi kali ini, takdir berkata lain.
"Oh ya, aku hampir lupa. Bukannya.., nanti sore kamu ada kencan sama Bara? Kalau gitu, semoga acara kalian lancar." Dinda memandang punggung Acha yang semakin jauh dari tubuhnya. Punggung, milik seorang sahabat yang pernah membuatnya bangkit dari keterpurukan. Dan sekarang, saat sahabat itu jatuh dan tak bisa bangkit untuk sekedar menatap langit, Dinda meninggalkannya. Membuat Acha harus merasakan sakit yang berkali-kali lipat. Menangis? Maaf. Bagi Acha, menangis hanya berlaku untuk orang-orang lemah.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, secepat mungkin, Acha melangkahkan kakinya keluar dari sekolahan. Ia tidak peduli dengan suara Pak Satpam, yang sedari tadi memanggil-manggil namanya. Terserah, kalau besok Acha dipanggil ke ruang BK. Ia tidak peduli. Yang ia butuhkan sekarang ini hanyalah, menulis.
Sesampainya di rumah, terlihat sebuah vespa abu-abu tua terparkir manis di depan pintu. Vespa jadul yang mungkin sekarang sudah jadi barang antik itu, masih terlihat anggun bagaikan langit malam. Punya siapa? Pikir Acha dalam hati.
"Ayo kak! Jalan lagi! Jalan lagi! Yiiiihaaaa!"
Acha menghentikan langkahnya. Percakapan yang ia dengar, sangat menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia. Rasa penasaran Acha kian memuncak. Tapi, ada satu hal yang masih menahannya untuk tidak melangkah masuk.
"Eeeh, Karin! Ayo turun! Kakaknya, jangan dibuat main kuda-kudaan dong. Nggak sopan!"
"Hehehe, nggak papa Tante. Ngomong-ngomong, Acha kenapa belum pulang?"
"Mungkin ada tugas. Kenapa nak Bima? Ayo diminum dulu teh-nya."
"Eum, iya jadi gini Tan.., maksud kedatangan Bima kesini adalah untuk, "
Jantung Acha yang tadinya normal, sekarang berubah berdegup kencang. Ia sungguh tidak tau kalau Bima akan mendatangi rumahnya kembali, sampai-sampai bertemu dengan Wulan. Dasar bodoh! Batin Acha. Ia meraih handle pintu itu, tapi lagi-lagi, aksinya tak berjalan mulus saat Bima kembali membuka mulut.
"Bima mau melamar Acha Tan."
Ps. Yosh! Akhirnya part 2 selesai! Semoga tidak mengecewakan kalian ya! Stay disini dan tinggalkan jejak berupa vote dan komentar!
Arigatou gozaimashita!
KAMU SEDANG MEMBACA
Crossroads #TrueShortStory
Short Story[COMPLETED] "Setidaknya persimpangan jalan itu tau, kalau aku selalu liatin kamu dari jauh." 🎀🎀🎀 Aku akan bercerita sedikit tentangnya. Dia Bima dan dia bodoh. Meskipun setiap kami bertemu, ia akan bilang; "Acha! Gue Bima dan gue ganteng!" Seper...