Hari pernikahanku semakin dekat.
Ya. Semua undangan sudah di sebar dan hari ini---aku dan calon suamiku, Lingga, baru saja selesai untuk mencoba baju pengantin kami di Butik teman mama.
Mobil kami melaju perlahan saat lampu di persimpangan jalan berubah kuning dan akhirnya berhenti ketika merah. Aku membuang pandangan ke toko di sudut persimpangan itu, toko buku yang bersejarah dalam hidupku.
"Mau mampir?" tanya Lingga, yang sedang menunggu lampu berubah hijau.
Aku tersenyum tipis, "Langsung ke kafe aja," ucapku, dan Lingga hanya mengangguk, mengerti yang kumaksud.
Lampu berubah hijau, Lingga mulai melajukan mobil kami perlahan, menembus jalanan kota yang mulai berwarna kuning karena matahari hampir tenggelam. Cahaya senja yang romantis, begitulah.
Tiba-tiba saja pikiranku melayang ke dua bulan yang lalu.
Hujan deras mengguyur kota. Seakan ikut bersedih atas perasaanku yang jatuh bebas tanpa arah. Aku tak pernah menyangka bahkan alam pun mengikrarkan kesedihannya atas kepergian Bima. Laki-laki itu, benar-benar telah pergi dan membawa segala rasaku padanya.
Aku tidak datang saat pemakaman Bima berlangsung. Yang kulakukan hanyalah meringkuk di atas kasurku sambil menangis---berharap bahwa itu cuma mimpi. Kubaca berulang-ulang surat yang pernah Bima tulis untukku. Wajahnya seakan terlukis di sana. Segala perangainya yang unik, aku mencintainya. Dan kenapa dia harus hadir dalam hidupku jika akhirnya pergi tanpa permisi? Aku benci itu, tapi aku tidak pernah bisa benar-benar membencinya. Aku membenci diriku sendiri.
Baru sepuluh hari setelahnya, aku berani menunjukan muka di tempat peristirahatan Bima yang terakhir kalinya. Kupikir, kenapa aku harus menikah dengan Lingga? Kenapa bukan Bima? Aku mencintai Bima. Bukan Lingga. Tapi apakah Bima mencintaiku? Tidak ada yang tahu kecuali dirinya. Bahkan ia menyembunyikannya dari semesta.
Sentuhan tangan Lingga di pundakku membuyarkan lamunanku tentang Bima. "Hei, sudah sampai," ucapnya.
Aku melihat sekitar. Kafe tempatku janjian dengan Kak Meli terlihat lenggang. "Aku masuk dulu, ya. Kamu mau ikut?" tanyaku. Lingga bilang tidak. Ia akan menunggu di mobil karena ia tidak suka suasana kafe. Padahal aku tahu, ia ingin menjaga privasiku.
"Makasih ya, Ngga."
Aku berlari kecil masuk ke dalam kafe. Di dalam, Kak Meli sudah duduk di meja nomor 15 dekat dengan jendela kaca. Ia melambaikan tangan ke arahku. Aku membalasnya dengan hal yang sama.
"Maaf, Kak. Tadi kelamaan di butik," aku mengulum senyum.
"Santai, Cha. Kamu ini kayak sama siapa aja." Kak Meli tertawa, aku ikut tertawa sebisaku.
"Omong-omong, gimana persiapan weddingnya? Lancar?"
"Lancar, Kak. Tapi aku masih teringat Bima. Aku berharap yang menikah denganku itu Bima bukan Lingga." Jahat sebenarnya aku mengucapkan itu. Untung saja Lingga tidak mendengarnya. Tapi yang namanya perasaan apa bisa dipaksa?
Kak Meli tersenyum samar, kemudian ia merogoh tasnya dan meletakkan sebuah kotak di atas meja. Kotak cokelat berukuran kecil. "Apa ini?" aku bertanya. Bentuknya mungil sekali.
"Sesuatu untukmu. Dari Bima."
Aku tersentak mendengarnya, "Dari Bima? Tapi Bima .... " Bima audah meninggal?
"Tujuh tahun yang lalu, sebelum Bima kecelakaan, Bima membeli ini untukmu. Ambilah. Mungkin itu bisa mengobati rasa kangenmu sama Bima."
Aku mengela napas sambil menatap kotak itu. Tanpa sadar sudut mataku basah.
"Nah. Buka di rumah saja. Jangan biarkan calon suamimu menunggu di luar terlalu lama. Dia laki-laki yang baik untukmu, Cha. Dia benar-benar mencintaimu."
Satu jam berlalu. Aku sudah berada di rumah. Bersandar di balkon kamarku sambil memegang kotak mungil itu. Apa kabar Bima di sana?
Kugerak-gerakkan kotak itu hingga menghasilkan gemuruh kecil. Aku penasaran isinya. Tapi aku ragu untuk membukanya.
Sedetik berlalu kutatap langit malam yang kebetulan penuh dengan bintang. Katanya, jika ada seseorang yang meninggal, ia akan jadi bintang. Tapi yasudahlah. Mari lupakan tentang bintang-bintang itu.
Dengan perlahan, aku membuka tutup kotak cokelat dari Bima. Dan alangkah terkejutnya aku saat melihat isinya: sebuah kalung dengan bandul bertuliskan nama kami.
Bimacha.
Bima Acha? Aku tersenyum melihat itu. Nama yang lucu dan ... aneh. Seperti dia.
Kuambil kalung itu dan langsung memakainya. Keningku berkerut kembali saat ternyata ada kejutan lain di dalam kotak mungil itu. Origami bentuk hati warna merah marun.
Oh tunggu.
Itu bukan origami biasa rupanya. Tapi sebuah surat. Surat kedua Bima.
Untuk Acha,
di tempat.
Hai.
Ini adalah pertama kalinya aku bicara pake aku-kamu ke orang lain. Awalnya kedengaran aneh, tapi aku akan membiasakannya. Yap. Tepat tiga tahun kita nggak saling ketemu. Tiga tahun juga aku berhenti buat gombalin cewek. Dan kamu tau? Kamu yang terakhir. Itu tiket emas.Gimana kabarmu tiga tahun terakhir? Kudengar dari mata-mataku di sekolahmu, kamu lulus dengan nilai terbaik dan berhasil kuliah di univeraitas terbaik juga. Selamat! Aku ikut bahagia! Kalau kamu mau tau kabarku, jawabannya: aku nggak sebaik dulu. Bahkan aku hampir gila karena nggak bisa ketemu kamu. Oke, gengsiku memang terlalu tinggi. Aku takut kamu benci aku karena sikapku yang brengsek itu. Tapi jujur, aku cuma nggak mau kamu jatuh cinta sama aku. Aku takut kamu tau sifat asliku.
Di sekolah, aku banyak berulah. Aku suka mempermainkan perasaan cewek khususnya mereka yang tergila-gila denganku. Mereka bodoh karena mau menyukai cowok sepertiku. Yang datar, dingin, dan kasar. Seperti itulah aku di luar sana.
Tapi beda halnya ketika aku mulai bertemu kamu. Aku masih ingat betul waktu itu jam pulang sekolah di hari selasa. Aku berdiri di persimpangan jalan dan tanpa sadar aku melihatmu di dalam toko buku. Cewek yang tenang dan abu-abu. Maksudku, bukan kulitmu abu-abu, bukan. Tapi kamu terlalu sulit ditebak sampai suatu hari, aku mengikutimu pulang. Aku melihatmu menangis di setiap pijak kakimu ke rumah. Kenapa? Aku sangat ingin mengetahuinya. Dan otakku mulai berpikir, mungkin akan menyenangkan jika aku bermain dengan gadis sepertimu. Cewek cengeng dan lembek.
Semakin lama, aku semakin tau siapa kamu. Apa yang ada di dalam hatimu dan pikiranmu. Aku mulai menyukaimu. Ini beneran, nggak bohong. Aku beneran suka kamu. Tapi nyaliku mendadak ciut saat kurasa kamu punya rasa yang sama. Aku takut kamu menjauh saat tau siapa aku.
Dan sampai tiga tahun aku menyembunyikan perasaanku ini. Aku nggak tau apa kamu mau menerimaku lagi atau nggak. Tapi yang terpenting, persimpangan jalan itu tau, kalau aku selalu liatin kamu dari jauh.
I love you.
Tertanda,
Bima si gantenk.
Note: ada kalung buat kamu. Ini sebagai tanda permintaan maafku karena udah buat kamu sakit hati. Maaf ya. Besok lagi aku janji nggak akan gitu lagi. Mulai sekarang kita baikan?
Aku anggap iya.
Jangan lupa dipake. Tiga tahun musuhan sama kamu itu hal yang nakutin.
Untuk yang kedua kalinya aku tersenyum setelah membaca surat Bima.
"I love you too."
🍃🍃
Huwaaaaa detik-detik tamatnya crossroads
Ini belum end ya gengs masih ada satu chapter lagi kok. So, stay tune yaaaaa
Big love big hug
Bye-bye ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Crossroads #TrueShortStory
Short Story[COMPLETED] "Setidaknya persimpangan jalan itu tau, kalau aku selalu liatin kamu dari jauh." 🎀🎀🎀 Aku akan bercerita sedikit tentangnya. Dia Bima dan dia bodoh. Meskipun setiap kami bertemu, ia akan bilang; "Acha! Gue Bima dan gue ganteng!" Seper...