Play mulmed ya gengs
🍃🍃
Lingga menatap gadis di hadapannya dengan kening berkerut, "Kenapa nggak dimakan? Nggak enak ya?" tanyanya, saat melihat Acha sedari tadi hanya mengaduk makanan di piringnya.
Acha menggeleng pelan. Sejak hari pernikahan mereka dua minggu lalu, Lingga merasa Acha semakin tak punya semangat untuk hidup. Memang, status mereka mengatakan bahwa Acha adalah istri Lingga, pemilik bengkel terkenal di kota. Dan Lingga adalah suami dari Acha, penulis yang sedang naik daun yang karyanya yang selalu dilirik penerbit. Tapi apa arti status itu jika pada kenyataannya, hati Acha berlabuh di suatu tempat meski raga itu ada di hadapannya?
Lingga tersenyum tulus. "Kalau nggak enak, jangan dimakan. Maaf, aku nggak jago masak. Aku beli makan di luar ya? Tapi kamu di rumah aja."
Sedetik sebelum Lingga hendak bangkit dari duduknya, Acha bangkit terlebih dulu membuat Lingga terdiam. "Nggak perlu," kata Acha. "Aku nggak selera makan, jadi nggak usah repot-repot beli makan di luar. Aku tidur duluan. Selamat malam."
Keheningan itu mengikuti kepergian Acha dari ruang makan. Lamat-lamat, Lingga menatap punggung itu hingga menghilang dari pandangannya. Lingga tahu, pernikahan ini bukan ide yang bagus. Dari awal ia juga sudah bilang, jika Acha tidak mau menjalaninya, Lingga tak akan memaksa. Bertemu Acha dan menjadi temannya adalah hal yang paling berharga yang pernah Lingga alami. Tidak peduli Acha mencintainya atau tidak, Lingga akan terus menunggunya hingga saat itu tiba. Saat di mana Acha bisa merelakan kepergian Bima dan menerima Lingga untuk menetap di hatinya.
Malam semakin turun. Pukul dua belas malam, dengan hati-hati Lingga membuka pintu kamar Acha. Gadis itu tidur meringkuk di atas ranjangnya. Tidak. Acha belum tidur, dan Lingga tahu betul itu.
"Hei," ucap Lingga. "Kamu belum tidur 'kan?" Lingga membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalamnya. Duduk di tepi ranjang. Menatap ke arah balkon kamar yang pintu kacanya masih terbuka.
"Insomnia. Kamu ngapain ke kamarku?" jawab Acha. Ia duduk, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang yang menempel dengan dinding.
"Tadi aku keluar dan kebetulan ada yang jual kembang api keliling. Niatnya, sih, nggak mau beli. Tapi kasihan sama penjualnya. Udah tua. Akhirnya aku beli, deh. Mau main?" Lingga menyengir lebar. Berharap ada kata 'ya' keluar dari mulut Acha yang terkatup rapat.
Di sisi lain, gadis itu menelan ludah. Sebenarnya ia malas untuk keluar malam-malam. Udara dingin mungkin saja bisa membuatnya jatuh sakit dan ia akan kesulitan untuk menulis dalam keadaan sakit. Tapi main kembang api? Sudah lama sekali ia tidak bermain itu.
"Mau?" tanya Lingga lagi. Memastikan.
Acha mengangguk lemah. Dalam hati Lingga bersorak gembira. "Bentar, aku mau pake jaket dulu," kata Acha, beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil jaket di dalam lemari.
"Aku tunggu di luar ya."
Setelah siap, Acha segera turun dari kamarnya menuju halaman belakang rumah. Di sana Lingga sudah menunggu dengan sebuah batang kembang api yang siap di luncurkan.
"Cuma satu?" Acha mengeryit.
"Kenapa? Mau lima?"
Acha menggeleng. Lelucon Lingga sama sekali tidak lucu. Garing.
"Kenapa kamu cuma beli satu? Kan kita berdua, Ngga." Acha menjatuhkan tubuhnya di bangku taman rumah mereka. Lingga hanya tersenyum kecil. "Sini dulu makannya."
"Males. Kamu aja, deh."
Lingga berdecak pelan. Dengan sabar, ia menarik tangan gadis itu untuk berdiri di sampingnya. "Kamu kangen sama Bima 'kan?" tanya Lingga. Acha menelan ludah lagi. "Nggak juga," jawabnya.
"Kamu itu nggak pinter bohongin orang." Lingga menyerahkan kembang api itu ke tangan Acha. "Nih, pegang dulu." Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah korek api. "Waktu kamu kangen sama seseorang, pakai kembang api ini untuk menyampaikan pesanmu ke orang itu."
"Kamu nggak gila, kan, Ngga? Mana bisa kembang api---
Belum sempat Acha merampungkan kalimatnya, Lingga sudah menyulut korek dan menyalakan sumbu kembang api itu. "Cepat. Sebelum sumbunya habis."
Acha menurut. Ia menutup matanya sejenak dan mengutarakan pesannya pada Bima di sana. "Terimakasih sudah pernah jadi bagian hidupku, Bim." Dan tepat setelah mengucapkan itu, kembang api yang Acha pegang pecah di langit. Acha terkagum-kagum melihatnya. Ia tersenyum. Hatinya kini lebih baik. Mungkin benar, sudah saatnya ia melepaskan Bima dan menerima Lingga menempati ruang kosong di hatinya. Meski Bima selalu punya ruang tersendiri.
"Dari mana kamu tau aku suka kembang api?" Acha bertanya. Lingga terkekeh pelan. "Gampang," jawabnya enteng.
"Profil di halaman terakhir novelmu."
Acha melotot. "Kamu baca novelku?!" serunya tak percaya. Wajahnya bersemu merah. Mana mungkin seorang Lingga yang kaku dan seserius itu mau membaca novel roman remaja yang sebagian besar ceritanya diambil dari kisahnya dengan Bima? Lingga pasti bercanda!
"Hampir semua," Lingga mengendikkan bahunya dan berjalan masuk lebih dulu.
Acha mematung di tempat dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Cha, nggak mau masuk? Udah malem nanti sakit." Lingga terus menahan tawanya sampai menghilang di balik pintu belakang.
Sedang di luar, Acha mulai tersenyum samar. Benar kata Mama Wulan, lepaskan Bima, mungkin ini yang terbaik untuk dirinya. Yah, Lingga memang tidak sekeren Bima, tidak juga seromantis dan lucu cowok itu. Tapi takdir sendiri yang memilih Lingga untuknya. Untuk menemani hari-harinya saat tak ada Bima di sampingnya. Dengan ragu, Acha melepas kalung yang melingkar di lehernya, mengecupnya untuk saat yang lama dan memasukannya ke dalam saku. Ia akan menyimpannya dalam kotak nanti. Sekilas, Acha melihat ke langit malam yang sedikit mendung. Hanya ada sebuh bintang yang menggantung di sana seolah ikut tersenyum ke arahnya. Satu yang paling terang di antara puluhan awan gelap. Kemudian Acha melangkah masuk setelah mengucapkan salam perpisahan untuk sang bintang. Dan bintang itu. Adalah Bima.
THE END
🍃🍃🍃
UWO AKHIRNYA CROSSROADS TAMAT JUGA!!!
Jujur deh seneng banget bisa menyelesaikan short story yang sudah lama terbengkalai ini hiks :"
Dan untuk kalian yang udah mau meluangkan waktunya demi membaca ceritaku, kuucapkan makasih sebanyak banyaknya! Tanpa kalian, aku nggak akan ngelanjutin cerita ini sampe tamat wkwkkwk
Btw, gimana nih endingnya?
Lebih milih Bima Acha atau Lingga Acha?
Semoga kalian suka deh sama ending yang aku buat ini.
Anyway, i love you gengs. Khususnya yang udah jadi pelanggan setia crossroads dari awal cerita ini ditulis. Aku lupa siapa aja, tapi ada satu yang paling gercep buat baca nih cerita dan orangnya adalah teng teng...
I LOVE YOU 3000+++❤
So sowy I can't give anything for you
Sekali lagi kuucapkan untuk semua yang sudah berkenan membaca Crossroads, Arigatou.
See you 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
Crossroads #TrueShortStory
Short Story[COMPLETED] "Setidaknya persimpangan jalan itu tau, kalau aku selalu liatin kamu dari jauh." 🎀🎀🎀 Aku akan bercerita sedikit tentangnya. Dia Bima dan dia bodoh. Meskipun setiap kami bertemu, ia akan bilang; "Acha! Gue Bima dan gue ganteng!" Seper...