ALERT🚨
Bab kali ini lebih panjang dari yang biasanya. Mungkin kalian akan bosan karena isinya melow drama. Tapi fyi: JANGAN DILEWATI, karena ini akan menjadi bab-bab terakhir dari Crossroads.
Enjoy for reading💕
.
.
.Acha yang berbicara.
Hai. Namaku Acha Valerina. Jujur, sebenarnya aku malu untuk menceritakan ini pada kalian. Tapi rasanya, mungkin, aku akan lebih baik setelah mengeluarkan ini semua.
Dulu, hidupku sangat mengerikan. Aku kacau. Aku kehilangan siapa aku yang sebenarnya. Bahkan aku pernah bersikap, maaf, kurang ajar pada ibuku sendiri. Oke, Wulan memang bukan ibu kandungku. Tapi apa kalian tahu seberapa besar ia mencintaiku? Jawabannya; ia mencintaiku lebih dari Karin---anaknya sendiri. Dan segala pengorbanan yang telah ia lakukan padaku, seolah lenyap karena rasa benciku yang memuncak. Aku akui, ayahku memang bukan laki-laki yang baik. Buktinya, beliau menduakan ibuku dan punya hubungan lain dengan Mama Wulan. Ibuku sendiri tidak pernah melawan ayah. Ia biarkan ayah bersenang-senang seperti itu tanpa kuketahui apa alasannya. Hingga suatu saat, kedua orang tuaku kecelakaan dan meninggal. Sejak itu aku tinggal bersama Mama Wulan.
Bukan hanya itu saja. Aku juga kehilangan satu-satunya sahabat terbaikku, Dinda. Setelah kupikir-pikir lagi, dulu aku kekanak-kanakan sekali karena telah memusuhinya hanya karena Dinda lebih memilih jalan dengan pacarnya daripada menemaniku yang sedang kacau. Padahal cinta memang seperti itu 'kan? Kala cinta menggoda, siapa pun juga bisa melupakan apa yang ada di sekitar mereka. Awalnya aku tidak percaya. Tapi semesta telah menunjukkan bukti lainnya. Ia pertemukan aku dengan Bima.
Dan, di sinilah cerita baruku di mulai.
Aku terlahir kembali.
Dengan jiwa yang baru dan cinta di dalam hatiku. Kuperbaiki segala kesalahanku, dosa yang telah kuperbuat, aku bebas.
Lalu sampai saatnya tiba, sebuah rasa sakit kembali menghampiriku. Bima meninggalkanku dengan alasan yang tak masuk akal. Bosan? Apa dia pikir aku ini mainan?
Tentu aku belum sepenuhnya menjadi gadis yang baik saat itu. Aku membencinya, sangat. Dan aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa melupakan dia. Tapi seberapa pun kuat aku berusaha, semakin aku ingin melupakannya, senyumnya dan segala aksi gilanya kembali muncul di hadapanku.
Lalu tepat tujuh tahun yang lalu, tiga tahun setelah Bima mengucapkan kalimat itu, seseorang meneleponku. Seorang wanita. Dia bilang, tolong maafkan segala kesalahan Bima. Dia menangis. Tapi hatiku tetap tak mau menerimanya. Kubilang: aku tak mengenal orang yang Anda bicarakan, tolong jangan ganggu aku. Dan dia kembali meminta maaf dariku, selama berhari-hari dia meneleponku hingga aku tak bisa tidur dan terpaksa menghentikan pekerjaan menulisku.
"Baik," ucapku di telepon pada akhirnya. Wanita itu berterima kasih kepadaku. Dia kembali menangis. "Bima ingin bertemu denganmu, tolong kemarilah," katanya.
Tujuh tahun berlalu, dan selama itu pula aku terus menerus menemui Bima di tempat terakhir kami bertemu. Bima sekarat. Itulah kenyataan yang harus aku terima.
Kubuka pintu kamar rumah sakit tempat Bima terbaring tanpa sadarkan diri. Di dalam, Kak Meli, kakaknya Bima dan suaminya duduk di sofa. Aku tersenyum ke arah mereka berdua. "Selamat pagi, Kak," sapaku hangat.
"Loh, tumben kamu ke sini, Cha? Ini 'kan bukan Hari Sabtu?" tanya Kak Meli. Aku hanya menggeleng pelan, "Ada sesuatu yang harus aku omongin sama Bima, Kak."
Kak Meli cuma mengangguk. Aku berjalan menghampiri tubuh Bima yang lebih kurus dibanding hari-hari sebelumnya. Kuletakkan sebuket bunga yang---entah Bima suka atau tidak, tepat di samping tubuhnya.
"Cha, kakak tinggal dulu ya." Kak Meli berpamitan padaku, begitu juga dengan suaminya yang telah menunggu di ambang pintu. "Makasih ya, Cha, selama ini kamu sudah mau menemani Bima," bisiknya, aku terdiam dan menunduk.
Ruangan terasa lebih dingin. Suara detik jam dinding menyelimuti kami. Sekarang, hanya ada aku dan Bima. Kutatap wajah itu dengan seksama. Kumisnya yang dulu tipis, kini semakin menebal tanpa pernah di cukur. Rambutnya tak pernah tersisir. Bibirnya selalu pucat. Tulang pipinya semakin terlihat. Aku menangis dibuatnya.
Sudah tujuh tahun Bima selalu seperti ini. Dia tidak lagi pernah tersenyum. Matanya yang memancarkan jenaka kini tak sekali pun pernah terbuka. Malam itu Bima kecelakaan motor. Dan dokter bilang, Bima tidak bisa sadar lagi---otaknya telah mati, meskipun organ tubuh lainnya masih berfungsi dengan baik. Dan itulah alasan mengapa aku masih belum bisa membuka hati untuk orang lain. Aku yakin suatu saat Bima akan kembali padaku lagi. Tapi kenyataannya, hidup Bima hanya bergantung pada alat-alat ini.
"Bim," ucapku. "Ingat nggak waktu pertama kali kita ketemu?"
"Toko buku itu sekarang udah punya tiga cabang, Bim. Keren ya! Oh ya, sekarang aku beneran jadi penulis terkenal. Kamu dah baca bukuku yang terbaru?" Aku berbicara sendiri layaknya orang gila. Kudekap tangan Bima dan kembali menangis untuknya. "Aku suka kamu, Bim. Sejak pertama kali kita ketemu. Kenapa kamu pergi gitu aja?" Tenggorokanku serasa tercekat, dadaku terasa lebih sesak. "Apa aku boleh tau apa alasan kamu pergi gitu aja? Itu bukan karena kamu bosan 'kan, Bim? Pasti kamu punya alasan lain 'kan?"
Untuk yang terakhir, kudekatkan diri pada wajah Bima dan mencium keningnya untuk beberapa detik.
"Kalau sekarang aku yang pergi dari kamu, apa kamu akan berlari mengejarku?"
Dan itulah hari terakhirku menemuinya.
Dan tanpa kutahu, air mengalir dari kedua matanya yang tertutup.
"Pergilah kalau kamu ingin pergi," ucapnya tanpa bisa kudengar.
🍃🍃
Gengs gengs, sebenarnya aku sedih kalo mau menamatkan cerita ini :( Tapi ya mau gmn lagi ... cerita ini udah satu tahun belom tamat juga 😂
Tanya dong gengs, kalian lebih suka cerita dengan happy ending atau sad ending? Kuy komen di sini 👉
Udah segini dulu aja.
Kutunggu vote dan komentar dari kalian.
Bye-bye love❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Crossroads #TrueShortStory
Cerita Pendek[COMPLETED] "Setidaknya persimpangan jalan itu tau, kalau aku selalu liatin kamu dari jauh." 🎀🎀🎀 Aku akan bercerita sedikit tentangnya. Dia Bima dan dia bodoh. Meskipun setiap kami bertemu, ia akan bilang; "Acha! Gue Bima dan gue ganteng!" Seper...