Persimpangan empat : Cara Jitu Nembak Cewek?

480 91 12
                                    

Keheningan yang menyelimuti meja makan pagi ini, membuat Acha semakin ingin cepat-cepat pergi. Tanganya hanya sebatas menyuapkan tiga sendok bubur ayan ke dalam mulutnya. Sedangkan Karin dan Wulan, mereka cuma duduk dan tak menyentuh makanannya sama sekali.

"Saya mau ke toko buku habis ini. Kalian mau titip apa?"

Pertanyaan langka dari bibir tipis Acha tak mendapat respon. Ini tidak biasa, Acha tau itu. Tapi, ia juga tidak bisa memaksa kalau pada akhirnya Wulan dan Karin akan menyerah lebih cepat.

"Ah ya. Saya lupa. Kalian takut sama saya. Saya ini monster. " Acha bangkit dari duduknya lalu menyambar postman bag coklat yang sudah ia siapkan. Dengan tergesa-gesa, ia berjalan menuju pintu utama dan membanting keras pintu itu. Mungkin mereka masih marah karena Acha kemarin malam sempat membentak Karin terang-terangan di depan Wulan.

Tapi mau bagaimana lagi?
Tidak ada yang tau, apa yang Acha rasakan. Matanya terlalu kelam untuk bisa diartikan. Bibirnya terlalu pahit, untuk bisa berkata-kata manis. Sikapnya terlalu keras untuk bisa menyenangkan hati. Acha bukan perempuan baik. Dan semua orang tau itu.

Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah toko buku kecil di ujung jalan. Toko buku yang tidak terlalu ramai pengunjung, namun selalu bisa membuat hati Acha tenang saat memasukinya. Baginya, toko buku adalah surga dunia.

"Mbak Acha kok baru dateng? Saya udah tunggu dari minggu lalu lho.." sapa seorang gadis berusia satu tahun lebih tua dari dirinya ramah. Putri dari pemilik tempat ini.

Acha tersenyum simpul. "Iya. Saya lagi banyak tugas. Jadi, nggak bisa kesini kemarin minggu. Apa ada diskon? Saya butuh novel baru." tanya Acha sembari membuka salah satu novel yang terpajang di rak paling awal.

Gadis bernama Anggun itu menjentikkan jarinya. "Masih ada mbak! Itu, di rak nomor dua dari belakang. Saya sengaja sembunyikan buat mbak Acha."

Dengan langkah kecil, Acha berjalan menuju rak itu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan novel yang dimaksud Anggun. Novel itu sudah menarik perhatian Acha sejak kali pertama melihatnya. Tidak mencolok. Covernya pun hanya bergambarkan ayunan kosong di bawah pohon dengan cahaya sunset yang hampa.

"Kamu yang sudah hilang," Acha bergumam saat membaca judul buku itu. Cukup menarik, pikirnya.

Baru saja Acha ingin membaca bab pertama dari buku itu, suara dari sebrang rak sana sudah menghancurkan moodnya.

"Ini mas buku nya,"

"Oke. Pasti berhasil nggak nih? Kalau gagal, uang kembali ya!"

"Yeee..., ya nggak bisa dong mas. Udah dibeli gak bisa dikembaliin."

"Yaudah saya nggak jadi beli. Saya baca di sini aja,"

"Ih. Dasar nggak modal,"

Acha terkekeh pelan. Tentu saja ia kenal betul siapa pemilik suara itu. Ia mengintip dari balik celah rak buku dan mendapati Bima, sedang bersandar di sana sambil membolak-balikkan halaman buku yang ada di tangannya.

"Hai," sapa Acha singkat.

Bima tergagap. Ia segera menyembunyikan buku yang ia bawa.

"Oo.., h-hai. Lo udah lama disitu?" Bima menyibakkan rambutnya dengan jemari kanannya. Sok keren.

Acha mengangguk, lalu keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri Bima yang masih tampak seperti orang ketakutan.

"Kenapa? Tumben kamu baca buku? Buku apa?" Acha berusaha untuk meraih buku yang Bima pegang. Tidak biasanya laki-laki itu 'pendiam' seperti ini.

"Nggak!" teriak Bima keras membuat Acha mengerutkan keningnya.

Ia tersenyum sinis. "Cara jitu nembak cewek? Hmmm..."

Bima mendelik. "Dari mana lo bisa tau...?"

"Itu, diatas kamu. Ada banyak," kali ini Acha gagal total dalam menahan tawanya. Ia tertawa sejadi-jadinya melihat wajah Bima yang semakin merah. Bahkan mungkin ada puluhan buku seperti yang Bima baca di rak paling atas. Sambil meringis malu, Bima menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.

"G-gue jemput besok jam lima sore!"

Bima hilang dari pandangan. Laki-laki itu membuang begitu saja buku yang ia bawa dan secepat kilat berlari menuju pintu masuk.

Sungguh. Bima hari ini aneh sekali. Acha mengambil buku yang tergeletak itu di lantai. Ia menggeleng-gelengkan kepala, namun senyuman di bibirnya, belum luntur juga.

"Mbak Anggun, saya ambil yang ini ya?"

Ps. Holaaaa! Akhirnya bisa up lagi! Semoga chapter kali ini tidak mengecewakan ya! Tetap stay disini, dan tinggalkan jejak kalian berupa vote dan komentar!
Makasih.
C u! 😘

Crossroads #TrueShortStoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang