Bima tersenyum tipis saat melihat Acha turun dari kamarnya. Dibalut gaun putih selutut dan sneakers dengan warna senada, Acha terlihat begitu manis dan lembut. Tidak seperti dirinya yang biasa: pemarah, dan galak. Begitulah pendapat Bima tentang Acha. Sedangkan gadis yang ditatap hanya bisa menunduk malu sambil sesekali merapihkan rambutnya yang kali ini ia gerai bebas.
Duh, apa bedaknya terlalu tebal ya?
Apa jangan-jangan aku makin jelek?
"Lo ... cantik banget," puji Bima, membuat Acha tersipu malu.
"Biasa a---
"Tapi bo'ong. Ha ha ha ha!"
Sialan!
Acha langsung mengerucutkan bibirnya yang mungil itu. Dasar Bima kurang ajar!
Dengan wajah yang masih merah padam dan bibir yang maju beberapa senti kedepan, Acha berjalan keluar rumah. "Terserah," desisnya, dan suara seperti 'ppfft' tiba-tiba saja terdengar dari mulut Bima.
"Bisa ngambek juga ya lo?" sindir Bima. Acha memutar bola matanya malas. Tau gini nggak usah dandan!
"Udah deh. Udah jelek nggak usah dijelek-jelekin mukanya."
"Makasih!"
Dengan perut yang masih geli karena menahan tawa, Bima menaiki vespanya dan memakai helm cokelat muda itu di kepalanya. Ia menyodorkan helm berwarna biru langit kepada Acha yang masih cemberut tapi berusaha bersikap biasa saja. "Nih pake," kata Bima.
Acha menerima helm itu. Dan setelahnya, ia menaiki vespa Bima dengan sangat hati-hati. Duduk dengan jarak yang bisa dibilang lumayan jauh dari punggung laki-laki itu. Bukan. Bukan karena Acha marah pada Bima karena hal tadi, tapi saat ini Acha mulai merasa ada sesuatu yang telah membuat jantungnya resah. Berdegup lebih cepat.
"Pilih pegangan atau lo jatuh dari motor." Diam-diam Bima mencuri pandang ke Acha lewat kaca spion kiri.
"Hmm," gumam Acha, hingga senyuman kecil tercetak di bibir Bima. Tangan mungil Acha dengan ragu mulai melingkari pinggang laki-laki itu, satu persatu perasaan resah menghilang dari tempatnya. Meskipun detak jantungnya kian berlarian.
Perlahan tapi pasti, laki-laki dengan hoodie abu-abu itu melajukan vespanya menyisir jalanan. Tidak ada percakapan di antara mereka. Keduanya hanya diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Acha dengan detak jantungnya yang semakin cepat dan Bima yang mungkin, harus merelakan jantungnya untuk berhenti berdetak.
Tidak lama, Bima mulai memperlambat laju kendaraannya. Acha turun dari vespa Bima dan melihat sekeliling. Bibirnya tersenyum begitu juga dengan hatinya. "Tunggu ... dari mana kamu tau tempat ini?" tanyanya, pada Bima yang saat ini sudah berada satu langkah di depannya. Acha menatap hamparan rumput hijau di hadapannya. Sebuah bukit kecil terlihat di atas sana dengan pohon yang rindang tepat di tengahnya. Puluhan capung dengan lihai mulai terbang ke sana ke mari, bermain dengan bunga-bunga kecil yang tumbuh ataupun hanya sekedar terbang untuk merasakan angin yang berhembus dengan lembutnya.
"Gue udah tau tempat ini sejak lama. Balapan ke atas bukit?" tawar Bima, dengan senyum miringnya.
"Oke."
"Tapi kalau lo kalah, lo harus cium gue!" Kurang dari dua detik setelah mengatakannya, Bima sudah berlari menuju bukit itu.
Acha yang sempat kaget dengan apa yang Bima ucapkan tanpa pikir panjang segera berlari menyusul Bima. "Curang kamu!" teriaknya, sembari terus berlari.
Seperti mengulang masa kecil, Acha juga sering sekali bermain ke tempat ini. Letaknya ada di belakang rumah sakit kota. Tidak terlalu ramai memang, bahkan mungkin tidak banyak orang yang mengetahui tempat ini. Dulu, Acha selalu datang ke mari saat kedua orang tuannya masih hidup. Ia sendiri tahu ada bukit di belakang rumah sakit saat ia masih berumur enam tahun ketika ia menjenguk neneknya yang sedang dirawat di sana. Tapi semenjak orang tuanya meninggal, Acha tidak lagi pernah ke tempat ini meski hanya sekali.
"Aku menang!" Acha menjerit bahagia. Bibirnya mengembang dengan sempurna, dan Bima hanya bisa tersenyum tipis saat ia baru saja sampai di atas bukit. Ya. Bima kalah.
"Gue, sengaja kalah, biar lo seneng, huuuft. Gue tau kok, sebenarnya lo mau gue menang kan? Biar ... lo bisa cium gue. Iya 'kan?" ucapnya, ngos-ngosan.
"Oh ya?!" Masih dengan bibir yang mengembang, Acha menyandarkan diri pada tubuh pohon yang besar itu. "Ngomong-ngomong, kamu ngapain ngajak aku ke sini?"
Bima mendekati Acha. Untuk pertama kalinya, baru kali ini Bima bisa menatap mata Acha sebegitu dekat. Kegelapan yang pernah ia rasakan terperangkap dalam mata gadis itu, kini telah menghilang sedikit demi sedikit. Dan, sudah seharusnya Bima berhenti.
"Acha, lo masih inget gue?" tanyanya.
"Kamu gila. Tentu aku ingat. Kita bertemu di toko buku itu. Aku belum pikun, Bima." Acha menggeleng pelan lalu ikut menatap mata Bima lebih dalam.
Ia tersenyum kecil. "Mulai sekarang, jangan inget gue lagi ya?" Embusan angin yang datang membuat beberapa daun kering berguguran. Kening Acha berkerut samar, tapi seperti biasa ia berusaha menutupinya. Senyuman yang sempat terukir kini lenyap tak bersisa. Acha sempat terdiam.
"Kenapa?"
"Karena gue udah bosen sama lo."
Ps. Tinggalkan jejak berupa vote dan komentar c:
Ah ya, gimana part kali ini?
Regards,
Vuu ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Crossroads #TrueShortStory
Short Story[COMPLETED] "Setidaknya persimpangan jalan itu tau, kalau aku selalu liatin kamu dari jauh." 🎀🎀🎀 Aku akan bercerita sedikit tentangnya. Dia Bima dan dia bodoh. Meskipun setiap kami bertemu, ia akan bilang; "Acha! Gue Bima dan gue ganteng!" Seper...