Berharap

613 46 1
                                    

Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
[QS. Al-Insyirah: Ayat 8]

      Ini kali pertama aku bertemunya, awal ketika sebuah kepedihan menjadi satu-satunya pengobat keimanan. Hari di mana untuk pertama kalinya aku bertemu dengannya, ketika aku mendengar suara lembutnya, ketika mataku menjadi saksi betapa indahnya ciptaanNya.

Ia berjalan ke depan untuk memperkenalkan diri dihadapan para anggota baru, saat itu pula aku terheran-heran dengan pandangannya, dengan suara bunyinya, dengan gerakan langkahnya. Dan untuk pertama kalinya aku membenci pria itu sebelum aku benar-benar penasaran dengan sikapnya.

Ku telusuri ia, hingga ku temukan apa yang membuatku mengangguminya. Sebuah celah, sebuah lubang kecil yang membuatku terbawa oleh derasnya angin cinta.

Entah sudah berapa lama aku meninggalkan tauladan terbaikku, entah sudah berapa lama hatiku tak lagi terpaut pada kerinduan terhadapnya, Nabi Muhammad. Hingga akhirnya ku temukan ia, dia yang santun, dia yang sholeh, dia yang memperdulikan lingkungan, dan dia yang benar-benar menerapkan As-sunnah di atas kehidupannya.

Membuatku semakin mengaguminya, membuat hatiku kembali merindukan Muhammad. Semakin hari, semakinku rasakan getaran itu. Getaran yang tak semestinya aku rasakan, getaran yang lebih dari sebuah kekaguman.

Hingga getaran itu membawaku kepada ketaatan, membawaku pada kerajinan. Namun, bukan ketaatan pada perintahNya yang ku jalankan. Melainkan ketaatan yang membawaku pada pengharapan semu, pengharapan palsu, dan pengharapan yang menjadi ambisiku menyatu.

Dan untuk kedua kalinya aku membenci dia, bukan membenci karena penasaranku. Melainkan membenci karena pengharapanku. Ia membawaku terbang setiap kali tersenyum sambil menatapku, ia yang lemah lembut ketika bicara kepadaku. Membuatku semakin jauh dengan pengharapan itu.

Hingga tiba saatnya Penciptaku menjatuhkan aku, jauh di dasar jurang tinggi, di tempat asing yang tak pernah ku tahu keberadaannya. Tuhanku mencabik-cabik hatiku, dengan datangnya sebuah berita bahwa ia sudah memberikan janjinya untuk mengikat tali sakral kepada wanita lain.

Wanita yang telah lama menjadi teman dekatku, wanita yang jauh lebih baik dariku. Tuhanku bukan saja menjatuhkan aku, bukan saja mencabik-cabik hatiku, tapi juga meremukkan wajahku karena malu.

Mungkin itu lebih baik bagiku, yang jelas bahwa laki-laki yang baik hanya untuk perempuan-perempuan yang baik. Sedangkanku? Jauh dari kata itu!

Tuhanku sedang kecewa kepadaku, seharusnya aku tidak berharap kepada apapun selainNya. Hingga Allah menjauhkan ku dari perkara tersebut, agar aku kembali berharap kepadaNya.

Kiniku sadar bahwa tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini, selain pengharapanku kepada ciptaanNya.

Aku masih sama, aku yang sedang belajar memperbaiki diri. Berkata baik kepada orang-orang, menasehati banyak orang. Tapi jauh dilubuk hatiku, ku masih perlu nasihat orang lain.

Sulitku sembunyikan perasaan, ku pendam dalam-dalam sebuah pengharapan semu, ku coba hapus bayang-bayang itu. Namun apalah dayaku, setiap kali bertemu dengannya hatiku tak menentu. Sulitku hentikan waktu, setiap kaliku teringat tentangnya, kadang lupa, kadang pula mengingatnya.

***

Selepas sholat dzuhur aku masih duduk sendiri di aula masjid, menanti kawanku yang lain. Hari ini ada kajian, dan seperti biasa. Yang mengisi kajian tersebut Kak Rayhan. Hari ini kajian membahas mengenai masalah tajwid.

Goresan Pena Arsyila (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang