Ilmu

602 56 0
                                    

"Ilmu itu cahaya, dan cahaya tidak akan datang pada seseorang yang berpikir gelap. Kecuali ia ingin meninggalkan kegelapan, dan mencari penerangan"

    Hari libur adalah hari yang menyenangkan untuk siapapun, namun tidak denganku. Aku malas diam di rumah, untuk itu aku pergi.
Baru saja aku berpamitan pada nenek untuk olahraga, tidak terlalu jauh jarak rumah dengan lapangan. Aku pergi berjalan sendiri mengenakan celana training panjang, baju kaos biru panjang, juga jilbab jeblus warna putih.

Udara masih terasa segar pagi ini, ku tatap sekeliling. Pemandangan nampak menenangkan. Ku hirup udara lapangan yang dipenuhi dengan pohon-pohon rindang. Pelajaran berharga dari setiap kehidupan, dan permasalah adalah bersyukur.

Kehidupan adalah ilmu, dan ilmu adalah kehidupan. Aku tak tau mengapa aku senang sekali kemari, mungkin saja di sini terdapat banyak ilmu. Pohon-pohon rindang disini adalah ilmu, jalanan bersih adalah ilmu, angin semilir juga adalah ilmu. Tanpa kita sadari, setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap waktu, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan setiap tahun kita tak pernah berhenti berjumpa dengan ilmu. Hanya saja ilmu tak akan menyapa pada hati yang luka.

Luka karena malas, karena santai, dan karena acuh padanya. Ibarat wanita, ilmu memiliki hati sesensitif seperti wanita. Ia malas bertegur sapa, ia malas memperdulikan, ia malas menoleh. Apabila seseorang yang ia percayai juga bersikap semena-mena. Awalnya ilmu menantimu. Ia menunggumu, menunggu kau menghampirinya.
Lama-lama ia mulai bosan, lalu pergi meninggalkan mu, dan ia akan kembali perduli kepadamu apabila kau juga mau perduli padanya.

Jadi jelas, bahwa ilmu tak akan datang pada tekad yang malas.

Dua putar sudah aku mengelilingi lapangan ini, napasku tersenggal-senggal. Aku berjalan lima langkah ke depan untuk membeli air mineral.
Selanjutnya ku duduk di bawah pohon besar, sambil sedikit memainkan ponselku.

Kali ini ku arahkan pandanganku pada sekeliling. Ku tatap seorang pria sedang mengayuh sepeda gunung hitamnya. Dia Rayhan, hatiku berdegup. Bukan karena cinta tapi karena sakit.

Ku palingkan wajahku kelainan arah, tak ingin memandangnya. Aku memang cinta, namun kali ini ku putuskan tali cinta di hatiku demi menghargai Rabbku.

Aku turun dari pohon besar itu, berharap kak Rayhan tak melihatku. Karena ku tahu, jika ia melihatku. Ia akan menyapaku, ku tak mau. Ku tak mau bercakap dengannya lagi. Cukuplah sekali dua kali tanpa memutuskan tali silaturahmmi.

Namun sayang, ia melihatku. Ia memanggilku "Assalamu'alaikum waraatullahi wabarakatuh, Syila." Ucapnya menghentikan ayuhan sepedanya.

Aku menghela napas panjang, anggap saja kali ini aku sedang mendapat ilmu. Ya ilmu, semua ini adalah pembelajaran bagiku, agar aku dapat mengendalikan hati yang tak seharusnya menyimpan ke sembarang tempat.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawabku,

"Sendiri aja?" Tanya Kak Rayhan dengan nada pendiamnya, dan tak mengarahkan pandangannya ke arahku.

Aku tersenyum sinis "Kelihatannya gimana?"

"Hehe, dikira ada temannya lagi kemana gitu. Ya sudah, kak Rayhan duluan ya tidak baik berdua-duaan. Assalamu'aaikum warahmatulahi wabarakatuh." Kak Rayhan pergi jauh meninggalkan ku sendiri.

Setelah menjawab salamnya, ku tutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Ternyata memang sulit menjaga hati. Benar kata Rhoma Irama, sesuatu yang haram itu pasti enak-enak, dan sesuatu yang baik itu menyakitkan untuk dijalankan.

Goresan Pena Arsyila (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang