Waktu

621 48 0
                                    

        Waktu dunia adalah jalanan kehidupan yang singkat. Entah sudah berapa kali aku melakukan kesalahan, sudah berapa kali pula aku melakukan kebenaran.

Obsesi manusia itu berbeda-beda, dan hal yang paling membuatku bahagia adalah ketika aku mampu menyelami dunia dengan penuh rasa syukur.

Sering kali aku berpikir tentang seorang pria, tentang jodoh yang tak aku mengerti sepenuhnya.

Seakan-akan hatiku bagai air laut tak asin, bagai pohon mangga yang ditumpangi anggrek. Sulit dimengerti, aku menyebut ia namun intuisi menolak. Aku menyebutkan dia namun hati yang menolak.

Biarlah lantunan do'a cinta yang menjawab semuanya. Aneh sungguh aneh, setiap kali aku ingin menghapus namanya. Namun pena selalu saja menuliskan kembali dalam lebaran buku kaku. Saat ini, hal yang paling aku khawatirkan adalah ketika maut lebih dahulu menjemputku.

***

           Hari ini pelajaran matematika, pelajaran yang paling tidak aku sukai sejak dulu. Aku berpikir bahwa apa semua guru menilai hasil dari pada usaha?

Aku sempat menyandang peringkat 2 di kelas, dan peringkat umum 3 se-ips di kelas 10 semester awal.

Hampir seluruh guru yang pelajarannya tidak aku sukai melihatku sebelah mata, memandang rendah hasilku. Seakan-akan mereka tak percaya, seakan-akan mereka tak rela, dan seakan-akan pula aku meraihnya dengan kecurangan.

Aku memang tak pandai matematika, aku tidak pernah pula menjawab soal ke depan saat pelajaran matematika. Aku, hanya anak bodoh bertopeng juara umum.

Kadang kala hatiku menjerit. Susah payah mendapatkan, namun semua yang ku dapatkan itu tiba-tiba dirampas oleh ketidak mampuanku dalam salah satu pelajaran.

Apa semua penyandang juara umum harus dapat menguasai seluruh mata pelajaran?
Apa salah jika sipenyandang juara umum mendapat hasil karena menguasai materi satu sampai tiga mata pelajaran yang ia suka?

Kadang aku menyesal karena telah berusaha mengejar impianku, tapi kadang pula aku berpikir bahwa inilah saatnya aku harus seperti pohon yang merindukan hujan. Meski tak semua menyukai keberadaannya, ia tetap berjatuhan meski sulit untuk bangkit.

Karena tujuan turunnya bukan untuk dipandang orang, bukan pula untuk menunjukan kemampuan. Tapi untuk menyenangkan hati pepohonan, dan untuk memberikan manfaat bagi seluruh makhluk hidup.

Aku sempat menurun, karena sakit satu semester yang lalu. Sejak kecil aku mempunyai asma, tapi dokter bilang aku bronchitis. Hingga aku diharuskan untuk perawat selama enam bulan. Dan itu membuat prestasiku di kelas menurun. Aku menyendang juara kesepeuluh di kelas. Bisa dibayangkan, dari kedua sampai terlempar jauh menjadi kesepuluh karena jarang masuk.

Aku sempat sedih, tapi satu sisi aku berpikir bahwa bukankah ini yang aku mau? Agar mereka bahagia ketika aku tak lagi menjadi lima besar? Aku memang tak pantas bukan menjadi lima besar?

Tapi sesak di dadaku itu semakin menjalar, aku ingin mengejar prestasiku. Dan wali kelasku, ibu Ria menguatkanku bahwa aku harus kembali bangkit. Ya, orang-orang disekelilingku memberikan pencerahan kepadaku bahwa aku harus menunjukan kemampuanku, aku harus bisa menunjukan bahwa aku bisa belajar matematika.

Di kelas dua semester satu ini aku banyak menjawab soal matematika ke depan. Tapi, ya memang jauh berbanding jika dibandingkan dengan penyandang peringkat satu dua tahun berturut-turut itu. Namun setidaknya aku sudah dapat mencoba.

Baru kemarin selesai bagi rapor, aku berhasil mengalahkan si peringkat satu. Dari ke sepuluh kini aku menyandang peringkat satu di kelas. Meski belum dapat merebut kembali posisi umum.

Goresan Pena Arsyila (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang