Menyedihkan

669 56 0
                                    

           Pagi itu adalah Pagi suram menurut pandanganku, entah mengapa sejak tadi pagi aku terus menangis di pelukan ibu tanpa mau berhenti. Hingga ayah mengajak kami pergi keluar mengenakan motor sekedar jalan-jalan kecil agar tangisku meredam, namun ayah salah duga. Tangisku malah semakin menjadi-jadi, saat hendak menyebrang ku rasakan tak kuasa lagi dengan perasaan yang berkecamuk di benaku, sambil menangis ku eratkan lengan mungilku di pelukannya.

Hingga suara teriakan ibu yang kudengar sangat nyaring dan nyata di telingaku menggema, ia eratkan pelukannya di tubuh mungilku, namun tiba-tiba hantaman mobil besar yang nyata di depan mataku, membawa kami terbang dan terjun ke sembarang tempat

  "Mbuuuuuuuuuuu." Suaraku parau dengan isakan tangis juga darah segar mengalir dari dahiku, ku tatap ia tragis.

Kepalanya yang dibaluti hijab telah basah dilumuri darah, wajahnya terlihat bekas meringis kesakitan lalu ku hampiri ia dengan merondang-ondang dengan napas yang terengah-engah "Mbuu." ku goyangkan tubuh ibu, namun ibu tak memberiku respon. Hinggaku beranjak ke arah ayah, berharap ia mendengar suara ringisanku.

"Ayah Cila tatut." ku goyangkan tubuh ayah sama persis seperti yang ku lakukan terhadap ibu.

Namun ayah yang ku tatap sama tragisnya dengan ibu yang tertindih motor dengan darah di sekitar hidung dan mulut itu sama tak merespon.

Pandanganku buram menatap mereka mengenaskan, mataku sudah tergenang air bening yang sembentar lagi akan tumpah di pelupuk, Hingga kini yang ku lihat hanya pandangan gelap gulita dengan napas yang memburu. Aku terjatuh pingsan dengan darah yang tak berhenti dari dahiku.

Berjam-jam aku tidur, berharap kejadian tadi hanya mimpi. Namun dugaanku salah, ini bukan mimpi, ku tatap sebuah selang infus menancap di tangan kananku yang mungil, hidungku tertempel sebuah alat pernapasan yang membuatku risih merengek-rengek, tangisku yang tiba-tiba itu segera membuat dua suster cantik berpakaian sopan menatapku dengan senyum, dengan harapan tangisku akan berhenti.

Tidak segampang itu, saat itu aku benar-benar ingin tidur di samping ibu dan ayah, kedua suster tersebut saat ini menampakan wajah bingung, mungkin mereka bingung bagaimana membuatku kembali tenang. Hingga sebuah lengan putih menempel di pipiku dan mengelusnya dengan lembut.

"Syila sayang, kedua orang tuamu telah tiada. Kau akan tinggal bersama nenek sekarang, semoga kau dapat menerimanya dengan ikhlas." ucap wanita yang usianya sekitar empat puluh.

Uluran tangan nenek memberikan kenyamanan seperti masa saat ibu belum pergi, Hingga membawaku tertidur dalam buayannya lalu melupakan kejadian yang baru menimpaku itu sejenak.

Flashback off

🌹🌹🌹🌹🌹🌹

          Ku tatap kertas putih di meja, entahlah sudah berapa lama aku menangis. Ku tatap kertas itu sudah basah digenangi air mata yang sepertinya memang tak ingin surut, air mata ini seolah-olah menjadi saksi betapa pedihnya dunia, dan tangan yang ku coba pergunakan untuk menghapus genangan air di pelupuk mata menjadi saksi bisu bahwa aku mencoba menahan air bening ini agar tak jatuh membasahi dunia yang akan tertawa puas karena mampu membuat seseorang menyerah akan pedihnya penghidupan fana.

Ketika kesedihan menyapa, aku seperti seorang paling menderita di dunia. Meratapi sebuah takdir yang mungkin orang lain kan merasakan hal sama sepertiku, seseorang gadis malang yatim piatu yang tinggal bersama nenek tua penjual baju rajut yang punya cita-cita besar menjadi sukses melalui goresan pena seujung kuku karena tak mampu.

Mustahil bukan?
Mana ada penerbitan yang meliriku?

Gadis tak mampu dalam segala hal, dapat menjadi seorang penulis handal, mahir, dan terkenal?

Mungkin bisa jika diriku tak punya kepribadian pemalu, aku juga bisa saja mengirimkan teks atau naskah ceritaku pada pihak sekolah. Sayangnya, mentalku kurang cukup, biarlah ku persiapkan dahulu mentalku, biarlah sebuah harapan ini menggebu di dadaku. Ku yakin suatu saat nanti semua yang kunanti kan terjadi.

Ku tarik napas kasar sambil mengusap wajah, Ku ketuk-ketuk kepalaku menggunakan sebatang pulpen. Mencoba berpikir, bagaimana caraku kuliah tanpa biaya?

Satu-satunya cara adalah mengejar beasiswa, tapi bagaimana caranya?

Otakku minimal, ku raih peringkat satu di kelas hanya karena mengandalkan mata pelajaran jurusan, terlebih sosiologi.

Sosiologi?

Ku pejamkan mataku dalam, sambil lagi-lagi menghela napas panjang. Dua tahun berurut-turut nilai sosiologiku memang memadai dan bisa terbilang menjadi langganan nilai terbesar.

Ku gelengkan kepalaku, dan masih ku ketuk-ketuk kepalaku menggunakan sebatang pulpen.

Jika ku kejar beasiswa melalui nilai sosiologiku, memangnya aku yakin kalau di sekolah lain tak ada yang lebih baik nilainya dariku?

Aku benar-benar kehabisan pemikiran, kenapa aku selalu seperti ini? tidak berani mengambil tindakan. Ku kepalkan kedua tanganku di atas meja, sambil menghela napas panjang dan memejamkan mata.  Ku ucap "Astaghfirullah haladzim" Ku beranjak dari meja belajar menuju tempat tidur, sambil duduk di pojok kasur. Ku raih handphone di pinggir bantal,  ternyata beberapa grup chat sudah penuh.

Pertamaku buka nama "Rohis" dari daftar beberapa pesan yang belum ku buka

Kak Alfarizi: Assalamu'alaikum, afwan mengganggu, besok kumpul ya sepulang sekolah di masjid. Ada para alumni sekalian latihan marawis sama qiroat bareng kak Rayhan
Kaira: Wa'alaikumussalam, oh iya kak insyaa Allah ya?
Fadlan: Wa'alaikumussalam, siap pak ketu laksanakan
Nabiel: Wa'alaikumussalam, siap komandan. Apa sih yang enggak buat kamu?
Kak Alfarizi: wkwkwk

Kak Rayhan? Ku ulang-ulang kata itu, kenapa sih dia harus datang lagi?

Sudah cukup, tak ada lagi cinta dalam diam. Semuanya sudah berakhir, aku tak ingin hatiku pernah diberikan pada pria yang nantinya belum tentu jadi imam keluargaku.

Hari ini kondisiku sepertinya sangat mendukung aku, suhu badanku panas, batuk-batuk, dan cairan bening keluar dari lubang hidungku. Ya, beginilah aku, aku memang lemah, terlalu banyak pikiran bisa membuat kondisi kesehatanku menurun. Ini bisa menjadi alasanku ijin tidak kumpul besok.

Ku raih handphone, lalu Ku ketik kata perkata pada layar handphoneku

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, maaf ya kak Fariz besok Syila gak bisa hadir. Syila gak enak badan, tapi Insyaa Allah kak, Syila bakal usahain piket kok. Syila cuma ijin gak ikut marawis aja."

Tidak butuh waktu lama menunggu, kak Fariz menjawab pesanku di grup chat

kak Alfarizi: Gak apa -apa Syil, kalo gak kuat piket gak usah piket. Jangan maksain
Aku: Syila kuat kok kak, tapi kalau untuk pulang sore Syila gak bisa. Afwan
Kak Alfarizi: Oh ok, syafakillah Syila
Mutia: Aamiin
Aku: aamiin yarabbal 'alamiin
Nabiel: Aamiin
Fadlan: Aamiin
Kaira: Aamiin
Teh Zakiya: Aamiin
Kak Afif: Aamiin
Fuhaira: Aamiin
Teh Nisa: Aamiin, cepet sembuh Syila sayang

Senyumku mengembang, begitu banyak orang yang menyayangiku. Untuk itu Ku hapus dugaanku yang berpikir bahwa aku seorang paling menderita di dunia.

Aku adalah salah satu orang yang beruntung ternyata, ya begitulah iman kadang naik kadang turun. Untuk itu ku harap ada yang akan selalu mengingatkanku jika ku mulai berpikir buruk mengenai takdir.

Malam ini sepi
Bakar saja rumah penduduk agar ramai
Malam ini sunyi
Bunyikan saja loceng lalu menari
Malam ini menyedihkan
Hibur saja diri, ambil microfon
Bunyikan lagu yang kau inginkan
Lalu nyanyikan
Apa harus muka suram?
Agar perasaan galau tertanam?
Agar kau bebas menangis bermalam?
Lebih baik kau pendam
Kalau tidak kau kan tenggelam

Goresan Pena Arsyila (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang