•Sepuluh• Reason •

54 12 0
                                    

"Seribu alasan tak akan membuat semuanya kembali seperti dulu, bukan?"

Sarah Amaretta

Sarah pun melangkah mendekat menuju kedua orang yang sedari tadi melakukan tindak kekerasan di hadapannya.

Gadis itu mengepalkan tangannya sekuat tenaga, dan berusaha menahan air matanya yang sedari tadi ia bendung.

Ia pun berdiri tepat di hadapan cowok berambut coklat legam-—Raka— itu. Menatapnya dengan tatapan sangat kecewa.

Plak

Satu tamparan kerasa mendarat pada pipi laki-laki itu. Disusul dengan jatuhnya butiran air mata gadis itu.

Sedangkan laki-laki itu termangap terkejut dengan perlakuan gadis itu.

"Gue gak nyangka lo ternyata begini, Rak", ucap gadis itu.

"Lo bilang gue murahan? HAH!? SEENGGANYA GUE GA NGEMIS CINTA DI HADAPAN LO, RAK!", kini emosinya tak dapat lagi ia pendam. Buliran air matanya mulai berjatuhan melalui pipinya.

Gadis itu pun berlari keluar dari tempat itu, dan segera menuju ke dalam mobilnya, dan menginjak gas mobilnya sekencang yang ia bisa.

Gibran pun khawarir dengan gadis itu, dan ia pun mengejar gadis itu dengan motornya.

Bagaimana dengan Raka? Ia hanya bisa terdiam, atau lebih tepatnya hatinya tertampar oleh perkataan Sarah.

•••

"Sarah!", Gibran yang berusaha menghentikan langkah Sarah. Namun, Sarah menghiraukan panggilan itu, dan terus berjalan pada lorong apartemennya itu.

Gibran tak menyerah untuk menghentikan Sarah. Sarah pun berhenti pada pintu apartemennya, dan secepat mungkin membuka sandi apartemennya. Namun, Gibran dengan cekatan langsung menahan tangan Sarah dari balik tubuhnya.

"Sar! Dengerin gue dulu!", Gibran pun yang menarik Sarah agar gadis itu mengarah padanya. Dengan mata sembabnya itu, Sarah hanya bisa menunduk.

"Gue sebenernya ga bermaksud buat pukulin dia, Sar. Tapi, gue ga suka kalau dia ngehina lo, apalagi di hadapan gue", Sarah pun hanya terdiam mendengarkan penjelasan dari sahabatnya itu.

"Lo bebas mau marah sama gue, mau nampar gue juga, tapi lo jangan kayak gini, Sar! Lo bawa mobil sambil ngebut kayak tadi bahaya banget, Sar!", lagi-lagi lawan bicaranya hanya tertunduk diam. Gadis itu diam bukan karena menghiraukan Gibran, tapi, ia berusaha air matanya tak berjatuhan lagi.

Gadis itu pun menaikkan pandangannya pada lawan bicaranya itu.

"Gue marah sama lo karena lo udah main kasar sama orang lain, Gi.", ucapnya dengan lembut. "Tapi, makasih lo selama ini udah mau ngebela gue, udah mau ngekhawatirin gue, bahkan lo ga pernah hilang disaat gue butuh lo, Gi", lanjutnya.

Tanpa komando, gadis itu pun mulai melingkarkan tangannya pada pinggang lawan bicaranya itu. Dengan nyaman ia menyenderkan kepalanya pada dekapannya.

Gibran pun, membalas pelukan itu dengan pelukan hangat. Dan sesekali mengelus ubun-ubun kepala gadis itu.

Dari kejauhan terlihat seorang gadis berambut pirang dari lorong tersebut. Kayla. Ya, kini Kayla berdiri  100 meter dari Sarah dan Gibran.

Sarah yang masih berada di dalam dekapan Gibran pun, menyadari kehadiran "sahabat" nya itu. Ia pun melepaskan pelukan itu, dan memandangi gadis itu dari kejauhan.

Kayla pun berjalan mendekati Sarah.

"Sar, kita bicara, yuk", ucapnya sambil tersenyum.

Sarah maupun Gibran hanya diam menatap gadis itu. Tatapan yang penuh tanya pada gadis itu.

•••

"Gue minta maaf, ya, Sar", ucapnya sambil tertunduk.

Sarah pun hanya tersenyum lebar, tanpa arti yang tertentu.

"Lo ga perlu minta maaf, Kay. Lagi pula, ini bukan salah lo", ucap Sarah sambil menggenggam tangan sahabatnya itu.

"Gue sama Raka itu sahabatan sejak kecil, waktu gue masih di Jerman. Dan waktu SMP kita pacaran, tapi karena sesuatu hal, gue harus pindah ke Indonesia. Dan saat itu, gue ga bilang ke Raka, dan alhasil dia nyariin gue sampai sekarang", Kayla pun menjelaskan semuanya dengan tenang.

"Dan jujur, gue ga nyangka juga Raka bilang kayak gitu tentang lo. Dan, kalau bisa gue mewakilo Raka minta maaf banget sama perkataan dia, Sar", lanjutnya.

Sarah pun terdiam. Perasaannya campur aduk, hati dan pikirannya tak bisa bersatu pada jawaban yang sama.

"Kay, jujur aja gue emang sakit banget waktu dia ngomong gitu tentang gue. Tapi, kali ini gue mau egois. Gue ga bisa maafin perkataan Raka, Kay. Gue ga butuh kok lampu gede yang tulisannya 'Sorry', atau ga perlu dia teriak lewat toa buat minta maaf. Tapi, gue cuma butuh ketulusannya buat minta maaf, Kay", Senyuman Sarah masih saja terukir pada wajahnya. Walaupun kini hatinya tak bisa berbohong, betapa sakitnya perasaannya kini.

Entah untuk keberapa kalinya, Sarah berbohong pada dirinya sendiri. Berlagak tak terjadi apa-apa, tapi hatinya selalu merasakan sakit yang tak tertahankan. Hanya karena ia tak ingin orang disekitarnya khawatir akan dirinya.

Satu-satunya kebohongan yang nampak pada dirinya adalah, ketika ia tersenyum lebar tanpa kebahagiaan.

•••

Hai all! I'm back setelah satu minggu lebih aku ga update:")

Well, di chapter ini agak pendek gitu, karena ya—authornya ga punya ide lagi:)

Jangan lupa vote & share ke temen-temen kalian yaaa:)

See you next chapter:)

DINOTORUS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang