4

136 3 0
                                    


"Kamu nangis?" tanya Alvaro.

Ivana tidak menjawab. Napasnya terengah-engah. Dia masih menangis. Alvaro pun mulai panik. Dia paling tidak bisa melihat cewek menangis. Alvaro berusaha menenangkan Ivana.

"Oke-oke, aku minta maaf. Aku gak akan bilang ini ke Patjo."

"Janji?"

"Iya."

"Jangan bilang-bilang Patjo ya."

Akhirnya mereka berdua pulang ke rumah masing-masing. Alvaro semakin bingung dengan dirinya sendiri. Dia tidak ingin membuat sahabatnya menangis, tetapi dia juga tidak ingin berbohong dan menyakiti perasaan Patjo.

"Ada masalah?" tanya Ibu Vina.

"Gak ada kok ma."

"Gausah bohong, mama tau kalo kamu lagi bohong."

Gawat, ini gawat. Alvaro tidak mungkin menceritakan kegiatan tadi ke Ibunya. Terlebih dia sudah berjanji ke Ivana bahwa dia tidak akan bilang-bilang ke siapapun. Hanya Patjo yang boleh tau tentang masalah ini. Akhirnya Alvaro memiliki ide.

"Aku remidi Bahasa Indonesia ma. Susah banget, Alvaro gak bisa disuruh nulis-nulis cerpen gitu."

"Mama gak heran sih, kemampuan bahasa kamu kan emang buruk. Hahaha."

"Malah ngetawain anak sendiri, mama ini gimana sih." Ucap Alvaro kesal.

"Yaudah, mau mama cariin mentor? Mama punya temen yang anaknya jadi penulis gitu. Kayaknya dia kakak kelas kamu deh."

"Siapa ma?"

"Kalo gak salah, namanya Patrick."

"Patrick Jonathan??"

"Mungkin kali ya, mama lupa nama lengkapnya."

"Yaudah boleh deh."

                                                                                   ---

Patjo yang masih tertidur pulas sejak jam setengah lima sore tadi menjadi terbangun karena panggilan Ibunya.

"Ada apa ma?" tanya Patjo dengan wajah masih kusut.

"Cepetan mandi gih, anak temen mama ada yang minta diajari nulis cerpen nih."

"Hah? Siapa ma?"

"Mama gak tau namanya, mama Cuma kenal mamanya, Vina Wijaya."

"Oke ma, bentar lagi aku mandi."

Wijaya? Jangan-jangan itu Alvaro? Walaupun Patjo tidak sepintar dan secerdas Sherlock Holmes maupun Detektif Conan, tetapi Patjo memiliki insting yang selalu tepat. Kali ini dia yakin bahwa anak yang dimaksud adalah Alvaro. Tapi kenapa Alvaro minta di mentorin kayak gini?

Tepat pukul 19.00, orang yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dan tebakan Patjo benar, Alvaro lah orang yang dimaksud.

"Permisi Om, Tante, Kak, selamat malam." Ucap Alvaro dengan sangat sopan.

"Iya masuk aja Alvaro, udah makan belom kamu?"

"Sudah om, saya pinjam Kak Patjo dulu ya."

"Iya-iya, selamat belajar ya."

"Alvaro, kita belajar di atas aja ya, di kamarku."

"Oke kak."

Mereka berdua pun naik ke lantai dua, dimana kamar Patjo berada. Balkon di depan kamar Patjo yang semula kosong, kini didatangi dua pemuda itu.

Jangan Bilang-BilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang