Pustaka 1 - Dari Atap Sekolah (1)

823 53 84
                                    

Pustaka Geneva

Pustaka 1 - Dari Atap Sekolah

Oleh: AyuWelirang

***

Aku menyandang ransel hitam lusuh kesayangan sambil berjalan cepat meniti tangga masuk perpustakaan. Sebab kurasa langkahku terkesan antusias, aku berhenti sejenak. Kuatur napas dan lanjut melangkah sambil tersenyum optimis.

Perpustakaan yang aku datangi ini dikelola oleh pihak swasta. Namanya "Litera Parahita" dengan huruf "LP" kapital sebagai logo di samping tulisan nama. Perpustakaan ini terletak di daerah Baros, kota Cimahi. Gedung perpustakaan memanfaatkan gedung lama milik pemerintah Belanda pada masa penjajahan dahulu. Setelah dikelola swasta, gedung lama pun menjadi lebih baik. Walau bagian dalam perpustakaan terkesan modern, arsitektur gedung tidak diubah dari bentuk aslinya. Masih ada nuansa Belanda di beberapa bagian gedung. Sambil mengingat-ingat sejarah gedung ini, aku pun masuk ke dalam perpustakaan yang bisa dibilang tak terlalu besar, tapi tak kecil juga.

"Geneva ada?" tanyaku pada resepsionis sekaligus bagian pendaftaran anggota perpustakaan. Kalau aku tidak salah ingat, namanya Lalita.

Lalita yang kala itu mengenakan sweter warna krem dikombinasikan rompi kulit, terlihat cantik. Ia berpikir sejenak, lalu memeriksa komputer di hadapannya. Setelah itu ia tersenyum dan menjawab, "Ibu Kepala Perpus sedang di lorong J, bagian buku-buku Sosiologi."

"Wah, jauh juga dari depan ya," gumamku. Selanjutnya, aku kembali menoleh pada Lalita dan membalas, "Ya sudah kalau begitu, saya langsung ke sana aja deh, Lita."

"Oke, Mas Hira," balasnya dengan nada lembut.

Aku lalu berjalan menyusuri ruangan berkubah besar yang memiliki rak-rak tinggi dengan berbagai macam buku. Bagian lorong rak di kanan dan kiri bertuliskan alfabet sebagai penanda lorong. Terdapat plang kecil dari tembaga yang terukir kategori buku.

Beberapa meter melewati lorong A hingga E, aku kini sampai di bagian tengah perpustakaan. Terdapat banyak kursi dan meja untuk pengunjung membaca buku. Tak banyak yang membaca pada hari itu. Lagipula, menurutku minat baca orang Indonesia memang tidak terlalu besar, sehingga perpustakaan besar seperti tempat aku berada saat sini, sia-sia saja dibangun.

Tanpa berlama-lama, aku bergegas menuju lorong F hingga J yang terletak di dekat pintu ruang komputer gratis untuk pengunjung. Aku pernah sesekali mengintip ke ruang komputer dan ternyata di sana lebih ramai daripada ruang membaca. Ternyata minat orang Indonesia untuk berselancar di dunia maya lebih tinggi daripada membaca.

Melihat seseorang yang memang aku cari sejak tadi, aku pun berteriak, "Ge!"

Itu dia, Geneva dengan tatapan datarnya yang biasa. Rambut keritingnya yang panjang, mengikuti arah kepalanya menoleh. Aku tak menghiraukan tatapannya dan menghampiri Geneva dengan riang.

"Bisa kan nggak pakai teriak-teriak?" balas Geneva sambil kembali merapikan buku-buku. Ia lalu mengoceh, "Heran nih aku sama pegawai magang. Udah dikasihtahu kalau buku Comte jangan ditaruh di rak ini, masih aja melakukan hal yang sama. Nih lihat, masa buku-buku positivisme dicampur sama buku-buku Marx dan Durkheim? Kan orang jadi susah nyari?"

Aku diam saja dan mendengar Geneva selesai bicara. Ia memperlihatkan bagian depan buku itu padaku sambil terus mengoceh. Lalu, setelah Geneva tenang, aku baru menyahut, "Masih sibuk, Ge? Aku punya kabar baik nih!"

"Soal usahamu untuk jadi detektif partikelir?" balas Geneva cepat. Anting bulat besar yang eksentrik, bergoyang di kupingnya saat Geneva menoleh lagi ke arah rak. Sungguh, aku tidak paham mengapa Geneva masih mempertahankan gaya rambut keriting nyaris kribo seperti itu? Bukankah sudah ada teknologi yang bisa meluruskan rambut? Dan lagi, anting apa itu? Seperti orang tahun enam puluhan saja.

Pustaka Geneva (Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang