Pustaka 1 - Dari Atap Sekolah (2)

347 44 38
                                    

Aku dan Gandara berhasil meyakinkan Pak Afrizal–guru kesiswaan yang tadi menginterupsi kami—untuk menghubungi ambulans juga petugas Polres Cimahi. Tapi, Pak Afrizal memberi syarat agar tak perlu ada media. Menurutnya, kota kecil seperti Cimahi tentu akan jadi makanan empuk media lokal jika ada sesuatu yang menghebohkan, seperti kasus ini misalnya. Lagipula, SMK Garuda ini sekolah kejuruan swasta terbaik di Cimahi dan Bandung, bahkan mungkin di Jawa Barat. Pak Afrizal mengkhawatirkan adanya penurunan pamor sekolah. Lebih pentingkah pamor sekolah daripada kematian siswa?

TKP kini dipasangi garis polisi dan beberapa petugas forensik mulai bekerja. Dari arah TKP, salah satu petugas bernama Anggabudi menghampiri kami. "Saya ingin semua tidak pulang dulu dan berkumpul di salah satu ruangan. Kami ingin memberi beberapa pertanyaan," jelasnya segera setelah menghampiri aku, Gandara, dan kerumunan siswa juga pelatih ekstrakurikuler yang masih berada di sekitar TKP. Ia lalu menoleh pada Gandara, "Aula bisa digunakan Pak? Atau ada kelas yang dibuka hari Sabtu ini?"

Gandara diam saja, sedangkan wajah Pak Afrizal terlihat berpikir. Kemudian, Pak Afrizal pun menanggapi, "Kelas normatif di lantai dua sepertinya buka."

Kelas normatif yang dimaksud tentu saja berada di gedung empat lantai, lokasi di mana siswi tadi melemparkan dirinya dari atap—atau dilempar seseorang?

***

Detektif Anggabudi selesai menanyai kami semua, saat anak buahnya masuk dan berseru, "Pak, saya menemukan Nona ini di atap."

Kami semua menoleh ke arah datangnya suara petugas polisi itu, dan di sana kulihat Geneva. Ia berjalan masuk perlahan, diikuti si petugas.

Detektif Anggabudi berdiri, dan wajahnya menyiratkan kebingungan sekaligus rasa senang yang agak kentara. "Geneva? Kok ada di sini?"

"Halo," balas Geneva singkat sembari mengangkat telapak tangan kanannya. Sementara itu, telapak tangan kiri ia sembunyikan di saku jaket parka.

Aku dan Gandara saling pandang. Rupanya, pikiran yang tadi bergantung di benakku tidak terjadi. Kusangka, Geneva akan tertangkap dan dicurigai, namun ia malah kenal dengan Detektif Anggabudi.

Singkat kata, proses interogasi awal pun selesai. Kami diminta untuk tetap berada di kawasan Cimahi hingga penyelidikan polisi selesai. Saat Detektif Anggabudi hendak menuju mobil, ia menyapa kami, "Jadi, kalian ceritanya memang sedang reuni kecil-kecilan kan ya saat kejadian berlangsung."

"Ya, kira-kira begitu," balas Gandara. Tentu saja kami tak mengatakan yang sebenarnya.

Lalu, kini pandangan detektif muda itu beralih pada Geneva. "Hmm, benar reuni? Kalau ada Geneva, kok aku jadi tidak yakin."

"Aku memang satu SMA kok dengan Gandara dan Hira. Kami hanya kebetulan sedang nongkrong di sini sambil menunggu Gandara membereskan beberapa pekerjaan," balas Geneva tenang.

Detektif Anggabudi mengangguk dan kini berkata, "Baiklah, aku akan menyelidiki lebih lanjut. Jika kalian ada informasi tambahan, kalian bisa menghubungiku."

Aku mengangguk, seiring dengan beberapa mobil polisi yang tersamarkan hanya seperti mobil biasa. Pak Afrizal sudah meminta agar pihak Polres Cimahi tidak perlu memakai sirene berlebihan karena khawatir masyarakat sekitar curiga.

Sejak tadi aku malah penasaran pada kedekatan Anggabudi dan Geneva. "Kamu kenal polisi itu rupanya, Ge?" tanyaku segera setelah mobil polisi melaju.

"Cuma pernah bantu-bantu waktu di Cimahi Convention Hall. Kami sempat bertemu dan mengobrol di sana. Aku sebagai perwakilan Litera Parahita dan dia perwakilan penegak hukum kota Cimahi," jelas Geneva.

Aku mengangguk dan kemudian mengalihkan pertanyaan, "Jadi, kamu menemukan apa atau siapa di gedung normatif? Ada orang seperti yang kamu bilang?"

Geneva tidak menjawab. Namun, ia mengeluarkan sesuatu yang telah terbungkus saputangan dari saku jaket parka di sebelah kiri, sambil tetap menatap ke arah perginya mobil polisi.

Setelah itu, Geneva menaruh benda kecil di telapak tangannya dan membuka lipatan saputangan.

"Ini kan lencana punya anak OSIS?" tanya Gandara saat melihat lipatan saputangan terbuka.

Aku memicing dan memperhatikan lencana yang dimaksud. "Jadi, lencana OSIS Garuda kayak gini ya? Beda banget sama sekolah kita dulu."

"Jadi, kira-kira ini lencana punya siapa, Ndar?" tanya Geneva tanpa menghiraukan aku.

Gandara mengangkat bahunya. "Kita harus tanya Bayu. Sepengetahuanku sih, anggota OSIS hanya punya satu lencana dan tidak boleh diduplikasi. Jadi, kalau ada yang tidak memakainya, mungkin kelupaan atau hilang. Apakah mungkin lencana itu milik seseorang yang kamu lihat di atap?"

"Hmmm. Bisa jadi," gumam Geneva tak yakin.

"Pembunuhnya bukan?" tanyaku penasaran.

"Memangnya aku bilang kalau siswi itu dibunuh?" sahut Geneva lagi dengan nada mengejek.

***

Malam minggu ini aku membantu Gandara memecahkan kasus sekolahnya. Aku memutuskan untuk menginap di rumah Gandara. Sampai di rumahnya, aku mengobrol sedikit dengan orangtua Gandara. Kalau aku tidak salah hitung, mungkin terakhir aku bertemu mereka sekitar empat tahun lalu saat Gandara wisuda sarjana. Kami memang dekat sejak SMA dan jarang bertemu saat kesibukan mulai bertambah. Aku, Geneva, dan Gandara pernah membentuk kelompok belajar semasa SMA dulu. Saat itu, Geneva lebih senang tidur siang ketika kami belajar kelompok. Geneva sering bilang kalau ia tak suka belajar. Namun, entah kenapa sekarang ia malah memilih pekerjaan sebagai pustakawati.

"Jadi, sejauh ini apa yang bisa kita simpulkan?" tanya Gandara padaku segera setelah kami berada di ruang kerjanya.

Aku menggeleng lemah dan merebahkan diriku di sofa ruang kerja Gandara. "Masih blur sih menurutku. Tapi, dari gambar-gambar yang kau kirim kemarin, kurasa ini mengarah ke kasus bully."

"Apa bully bisa sampai ada kematian?"

Aku memijat keningku dan menerawang ke langit-langit. "Bisa saja. Bagaimana jika korban terpojok secara psikologis dan melompat? Bukankah itu sama saja dengan mendorong orang pada kematian?"

Gandara ikut merenung. Ia lalu memekik, "Ah, siswi itu. Aku baru ingat!"

Aku meluruskan posisi duduk dan bertanya, "Apa ada yang janggal?"

"Siswi yang melompat itu.... Dia siswi di jurusan Teknik Transmisi yang workshop praktikumnya saling berhadapan dengan Teknik Pendingin. Bayu pernah bilang, kalau salah satu teman di kelasnya berhubungan dengan siswi ini," jelas Gandara. Ia lalu mulai membuka komputernya dan mengakses portal untuk guru di SMK Garuda.

"Masa ini karena cinta sih?" tanyaku sambil beranjak dari sofa dan menghampiri Gandara.

"Bukan cintanya yang kupermasalahkan, tapi ini...."

Lalu, terpampang pada layar komputer, daftar nama siswa dan siswi yang mendapat beasiswa di SMK Garuda. Nama siswi yang jatuh dari atap pun tertulis, diikuti nama siswa yang Gandara bilang adalah kekasih dari siswi itu juga tiga siswa lainnya.

"Mengingat mahalnya biaya sekolah dan asrama di SMK Garuda...." Aku menghentikan perkataanku.

Gandara lantas menyahut, "Apa kau berkesimpulan bahwa siswa-siswiku membunuh karena beasiswa?"


***

Bersambung ke Pustaka 1 - Bagian 3. Nantikan update selanjutnya Selasa depan!

Catatan Penulis:

Setelah mendapat beberapa masukan pada part 1 untuk kasus perdana Geneva dan Hira, saya memangkas beberapa deskripsi yang tidak perlu. Kali ini, saya berhasil menulis satu bab kurang dari 1000 kata. :')

Seperti biasa, saya masih menantikan komentar dan juga masukan teman-teman untuk perkembangan cerita detektif perdana saya ini. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi.

Terima kasih telah membaca!

Pustaka Geneva (Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang