Pustaka 1 - Dari Atap Sekolah (4)

237 32 42
                                    

"Aku tidak mau menyimpulkan terlalu cepat. Tapi tekanan dari sekolah ini besar juga. Sepertinya kalau tidak ada petunjuk berarti, atasanku akan menyimpulkan ini kasus bunuh diri," ujar Detektif Anggabudi pada Geneva.

Aku hanya bisa mengernyitkan dahi, tak kuasa menyahuti polisi bertubuh jangkung itu. Namun, lain halnya dengan Geneva. Ia malah berkacak pinggang dan berkata, "Yang bener dong, Bud. Masa bunuh diri?"

"Ya gimana dong. Kamu nggak bisa bantu kami apa?" tanya Anggabudi.

Lalu Geneva menoleh padaku. "Yang detektif amatir bukan aku sih, tapi Hira."

"Yah, amatir kok kamu tawarkan padaku sih," balas Anggabudi lagi.

Kini aku pun mulai kesal dan menyahut, "Halo, maaf. Saudara-saudara, kalian ngomongin orang, di depan orangnya langsung kok rasanya bikin kesal ya."

Anggabudi tersenyum mengejek sementara Geneva memikirkan sesuatu.

"Bukannya kamu bilang waktu itu lihat seseorang, Ge?" lanjutku.

Anggabudi menatap Geneva, seolah minta penjelasan.

"Oke, oke... Waktu itu aku belum bisa bilang padamu, Bud. Saat itu aku belum yakin soalnya," balas Geneva lagi.

Akhirnya, kami bertiga memutuskan kembali ke gedung normatif setelah meminta izin pada ketiga guru sekolah yang hari ini hadir. Namun, ada yang janggal saat kami meminta kunci gedung. Selain Gandara yang memang ruang kerjanya di gedung normatif, Pak Afrizal yang menempati ruang kerja di gedung Kepsek dan Piala, juga memiliki kunci gedung normatif.

"Pak Afrizal punya kunci gedung ini juga?" tanyaku hati-hati.

"Tentu saja. Saya kan guru kesiswaan. Walau ruangan saya di dekat ruang kepala sekolah, saya diminta pihak Komite Guru Garuda untuk memegang kunci semua ruangan," balas Pak Afrizal.

"Alasannya apa?"

"Ya tidak pakai alasan dong, Mas Hira. Saya kan guru yang menindak permasalahan sosial dan pelanggaran siswa di sekolah ini. Jadi, saya harus melakukan inspeksi sewaktu-waktu ke kelas-kelas normatif," sahut Pak Afrizal. Nada suaranya meninggi.

Aku menyudahi konfrontasi itu dan mengekori Anggabudi, Geneva, juga Gandara. Kami berjalan di lorong gedung normatif yang agak gelap, sebab hari sedang mendung. Selain itu, lampu gedung normatif tak dinyalakan. Setelah itu, kami berbelok ke tangga yang berada di samping toilet wanita. Toilet wanita letaknya di pojok gedung normatif bagian timur dan ada di tiap lantai.

Setelah beberapa lama meniti tangga, aku baru menyadari bahwa Anto tidak ada. "Pak Anto ke mana ya?" tanyaku.

"Tadi dia izin sebentar mau ke toilet di lantai satu," balas Gandara.

Kulihat Geneva sedikit menoleh ke kanan dan kembali memandang ke depan.

***

Kami sampai di tangga paling puncak dan Anggabudi mendorong pintu menuju atap lantai empat gedung.

"Anginnya sedang kencang," gumamnya segera setelah membuka pintu.

Aku dapat melihat sekitar sekolah. Di barat daya, ada Bukit Cigugur Tengah dan Bukit Komando.

"Itu pabrik kecap yang di Baros kan, Bud?" tanya Geneva sambil menunjuk arah barat laut yang terdapat cerobong asap tinggi.

"Iya kayaknya. Sekitar jam segini sih mereka beroperasi," balas Anggabudi sambil mengecek jamnya.

Kami melihat sekeliling. Pak Afrizal lalu bertanya, "Sebenarnya apa yang kalian cari di sini?"

"Cari angin aja kok, Pak," balas Geneva datar.

Pustaka Geneva (Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang