Pustaka 2 - Terkultivasi (4)

307 33 17
                                    

Di lokasi acara Komunitas Mobil Listrik Indonesia, beberapa tim dan perwakilan KMLI dari berbagai kampus, sedang berkumpul. Dari jauh, dapat aku bedakan kostum balap dan juga mobil listrik rakitan masing-masing kampus itu. Mobil dan kostum Poliga berwarna biru tua dengan nomor 40 warna putih. Universitas Harapan berwarna hijau terang dengan ornamen kuning stabilo. Juga ada mobil listrik warna oranye dari kampus lain. Ada sekitar enam kampus yang hari ini akan mengikuti acara.

Januar menengok sekitar. Lalu, dari kumpulan peserta Poliga Race KMLI, seorang mahasiswa muda dan tampan menghampiri kami.

"Pagi, Pak," sapa mahasiswa itu. Tingginya menyamai Januar, mungkin sekitar 178 sentimeter, lebih tinggi tiga sentimeter dariku. Ia kurus dan rambutnya tersisir ke samping, dengan sedikit poni yang tidak terpotong rapi. Seperti tokoh manga kalau kupikir. Ia memakai baju balap warna biru tua bertuliskan nomor 40. Rupanya, dia salah satu pembalap yang akan mengikuti acara Poliga Race - Komunitas Mobil Listrik Indonesia.

Januar lalu menyalaminya dan segera mengenalkan si mahasiswa pada kami. "Nah, ini temannya Sultan. Namanya Ananta Diaz," ujar Januar.

Diaz mengangguk, lalu bergantian menyalami aku dan Geneva. "Saya Diaz, junior Kang Sultan beda satu tingkat," jelas Diaz. Saat ia hendak mengobrol, beberapa mahasiswi—sepertinya dari kampus lain karena memakai atribut Universitas Harapan—datang dan mencerocos histeris. Mereka lalu meminta Diaz berfoto dengan kamera belakang ponsel mereka. Selfie, tapi sama-sama. Aku tidak tahu sebutan selfie grup seperti itu.

Geneva pun mendekatiku dan berbisik, "Tuh, aku bilang juga apa. Jadi fangirl itu membahagiakan."

Aku berdecak dan tak menjawab. Sementara itu, Geneva terkekeh sendiri.

Setelah selesai berfoto, Diaz kembali pada kami. "Berarti kamu junior almarhum Sultan juga di KMLI?" tanyaku langsung sebelum ada yang mengajaknya berfoto lagi.

Diaz mengangguk. Ia lalu mengobrol dengan Januar tentang dibatalkannya acara hari ini. Setelahnya, Diaz memberitahu posisi indekos Sultan dan pamit untuk mengobrol dengan perwakilan KMLI dari kampus lain mengenai acara.

"Dia sudah kasih alamatnya. Nggak jauh dari sini," ujar Januar sembari mengecek arloji, lalu melanjutkan, "berangkatnya jalan kaki saja ya?"

Aku tidak menolak, begitupun dengan Geneva. Kami lalu beranjak dari lokasi acara dan berjalan kaki menuju gerbang barat Poliga. Sebelum pergi, aku sempat menengok ke belakang, ke arah beberapa anak KMLI berkumpul. Lalu, mataku berserobok dengan mata Diaz. Anak itu spontan tersenyum dan mengangguk.

***

Kami berjalan ke depan dan melaju ke arah utara. Sementara itu, Tanjakan Mangkus berada di arah selatan, tempat aku dan Geneva lewat sebelum sampai Poliga.

"Indekos Sultan ke daerah Gerlong apa Sariwangi?" tanyaku sembari berjalan menanjak ke utara.

"Yah sekitar Gerlong situ lah, dekat Warnet Karavan. Di tempat indekos tiga lantai warna hijau kata Diaz tadi," balas Januar.

Geneva menoleh ke kanan dan kiri, kadang ke atas agak menyerong. Ia menangkap beberapa informasi sesuai kebutuhannya. Lalu, ia berujar, "Kalau malam, lampu di daerah sini nyala, Mas Januar?"

"Kalau tidak salah sih menyala, tapi nggak semua. Sepertinya belum diperbarui oleh Dinas Tata Kota," balas Januar lagi.

Aku ikut melihat ke beberapa arah dan ke lampu-lampu. Lalu, sudah pasti aku terbayang lagi kondisi kala malam di sepanjang Tanjakan Mangkus ini. Aku pun berkata, "Kalau lampunya mati gitu, apa kendaraan yang lewat nggak takut tiba-tiba mogok terus ketemu Mang Engkus?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pustaka Geneva (Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang