Pustaka 1 - Dari Atap Sekolah (6)

179 26 12
                                    

Kawanku, Geneva, duduk menghadap whiteboard. Ia menumpangkan kaki kanannya di atas kaki kiri, lalu menggoyang-goyangkan tungkai kakinya yang kurus dan panjang. Sementara itu, aku duduk di kursi dekat pintu masuk, tepatnya di depan sebuah rak buku yang agak berdebu. Lalu, di dekat Geneva, Anggabudi bersandar pada tembok yang ditempeli jadwal piket siswa. Di bangku kelas, telah duduk pula Gandara—temanku yang mengajar di sekolah ini.

Dari arah koridor, aku mendengar derap langkah pelan tapi pasti. Dari suaranya yang saling bersahutan, jika kuperhatikan dengan saksama, ada sekitar empat orang yang menuju kelas tempat kami duduk berkumpul.

Benar saja, dari arah pintu, kulihat Pak Afrizal bersama Bayu dan Anto yang masih memegangi belakang kepalanya, diikuti seorang petugas polisi bawahan Anggabudi.

"Bagaimana keadaan Anda, Pak Anto?" tanya Geneva basa-basi. Geneva lalu bangkit dari duduknya dan menghampiriku.

Aku menengok pada si pemilik nama. Ia mengangguk sembari meringis pedih. "Masih agak nyeri, tapi saya sudah lebih baik," jawabnya.

Geneva pun mempersilakan keempat orang itu untuk duduk di kursi yang telah dibentuk. Entah apa yang ada di pikiran teman keritingku itu, tapi ia bersikeras untuk membentuk posisi focus group. Kursi disusun membentuk lingkaran, agar orang-orang yang dipanggil pada saat itu bisa saling bersisian sekaligus berhadapan.

Segera setelah duduk, Anto buru-buru bertanya, "Bagaimana? Apakah Lando ketemu?"

"Ketemu, tenang saja. Saya sudah mengamankan Lando dan meminta pengakuannya," balas Geneva bohong. Anggabudi yang masih bersandar di karton jadwal piket tentu saja mengernyit. Namun, ia tidak menyela taktik Geneva.

Anto mengempaskan punggungnya dan menghela napas lega. Ia pun berkata, "Syukurlah kalau begitu. Aku selalu percaya pada kemampuan polisi Cimahi. Mereka pasti akan menangkap pelaku kejahatan tanpa pandang bulu."

Geneva mengangguk. Setelah ia melirik Anggabudi, polisi bertubuh jangkung itu pun menghampiri kami bertujuh yang telah membentuk focus group discussion atau biasa Geneva sebut sebagai FGD. Menurutnya, FGD ini sering ia lakukan pada responden penelitian sosialnya apalagi menyangkut penelitian sosiologi komunikasi. Biasanya, ia mengumpulkan mahasiswa juniornya dulu, atau teman-temannya ketika menempuh pascasarjana.

"Saya akan kembali bertanya mengenai hari kejadian dengan runut pada Sabtu lalu dalam format FGD. Hal ini diusulkan oleh Ibu Geneva, untuk rekonstruksi yang runut. Saya harapkan kerja Anda semua," ujar Anggabudi dalam prolog FGD.

Arlojiku menunjukkan hari sudah semakin sore. Bahkan, di luar sudah hampir gelap. Namun, sepertinya diskusi ini akan selesai sangat panjang. Ada satu hal yang ingin aku konfirmasi dari keterkaitan masalah yang membuat kepalaku pening.

"Pada pukul delapan hingga sebelas siang, tanggal 9 September 2017, di manakah Anda semua berada?" tanya Anggabudi lagi.

Geneva menjawab lebih dulu, "Jam delapan sepertinya aku masih di Baros, sedang di angkot menuju SMK Garuda. Angkot macet di Baros dan berhenti cukup lama di SMP Santa Ursula sekitar lima belas menit. Kira-kira, sampai di sini pada pukul 08.15 dan langsung ngopi bersama satpam di depan."

Setelah memberi instruksi, Anggabudi pun mengarahkan wajahnya padaku. Aku lalu menjawab, "Jam 8.30 aku sudah sampai sekolah ini, disambut oleh satpam sekolah yang memeriksa identitasku. Setelah itu, aku bertemu dengan Geneva sekitar pukul 8.45 kalau tidak salah. Dia sedang berdiri di koridor, melihat sekitar sekolah di normatif bagian depan."

Yang lainnya pun menjelaskan sesuai versi mereka dan Anggabudi sesekali mengintip ke catatannya. Perlahan, Anggabudi menyodorkan buku catatan kecilnya padaku dan Geneva. Di sana, kami melihat tulisan Anggabudi tentang tidak selarasnya salah satu pengakuan seseorang pada interogasi pertama dengan FGD ini.

Pustaka Geneva (Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang