Pustaka 2 - Terkultivasi (3)

179 28 8
                                    

Aku dan Geneva sampai di gedung dua lantai, tempat para dosen Teknik Mesin berkantor. Gedung ini bergabung dengan ruang dosen Teknik Kelistrikan, karena letak jurusan tersebut yang berada tepat di belakang gedung ini.

Aku permisi masuk saat beberapa petugas polisi tengah menanyai Januar tentang korban. Beberapa dari para petugas itu, juga memeriksa buku-buku dan arsip di ruang dosen. Pada hari Minggu, tidak banyak dosen yang datang, sehingga ruang dosen dipenuhi oleh petugas polisi. Selain itu, acara KMLI hari ini pun hanya dihadiri oleh dosen pengampu, dosen penasehat, dan juga anggota KMLI.

Karena tak ada yang menjawab, Geneva masuk lebih dulu dan kami pun menengok ke beberapa arah. "Permisi," ujarku sekali lagi.

"Ah, Hira. Sini," sahut Januar dari arah kanan. Aku pun menuju meja tempat Januar sedang menyangga tangannya pada buku alumni di meja dan berbicara dengan seorang petugas.

"Kalian siapa?" tanya seorang petugas polisi. Usianya kutakar sekitar tiga puluhan lebih. Rambutnya tersisir rapi dan alisnya tebal. Sementara itu, wajahnya tidak bersahabat. Yah... seperti si Anggabudi itu lah.

"Mereka teman saya. Tidak apa-apa, Ipda Panca," jawab Januar sambil meminta aku dan Geneva mendekat. Januar pun mempersilakan kami duduk di kursi sampingnya, milik dosen lain.

Aku mengintip buku alumni. Januar terlihat menunjuk foto seseorang di sana. "Itu korbannya, Jan?" tanyaku mencaritahu.

"Iya. Namanya Noor Sultan, alumni sini. Dia salah satu anak KMLI juga, lulus sekitar satu tahun lalu, saat aku baru kembali dari pekerjaan drilling dan mendaftar jadi dosen di sini," jelas Januar. Ia lalu menyodorkan buku alumni padaku. Aku mempelajarinya bersama Geneva.

"Tipikal nerd, ya? Pakai kacamata dan berfoto tanpa melihat kamera. Kata-kata mutiara yang dia tinggalkan juga bukan yang menyemangati diri atau kesan-pesan indah selama kuliah gitu," ujar Geneva sembari menunjuk foto Sultan dalam buku alumni angkatannya dan kemudian menunjuk bagian motto serta pesan dan kesan.

Januar lantas menoleh, tampak tertarik dengan perkataan Geneva. Ia pun mendekat sembari berkacak pinggang. Setelah menghela napas, ia berkata, "Yah begitulah. Sultan ini termasuk mahasiswa pintar, tetapi agak bermasalah."

"Karena?" sahutku.

"Pasca lulus, dia tidak bisa cari kerja. Dia pernah kena kasus plagiasi cetak biru mesin yang diluncurkan Komunitas Mobil Listrik Indonesia di Universitas Harapan. Karena di politeknik seperti kami informasi dari Hubungan Industri ke pihak personalia industri bergerak cepat, dia jadi ditolak terus setiap wawancara karena kasus itu," jelas Januar lagi.

Aku menutup buku dan menatap teman lamaku semasa kuliah, lalu berkata, "Lantas, apa yang dia lakukan di kampusmu? Dia tidak suka kampus ini, tapi mengapa dia kembali?"

Geneva tersenyum senang sambil menepuk bahuku. Tampak jelas di wajahnya, bahwa ia mulai menyukai cara menarik simpulan yang mulai bisa kukuasai.

Mendengarku berkata, Januar hanya mengedikkan bahu. Sementara itu petugas polisi menginterupsi kami, "Baik. Saya berterima kasih atas bantuan Pak Januar. Namun, saya mohon agar Anda dan teman Anda tidak mengganggu proses investigasi kami."

Seperti yang kuduga, polisi memang begitu penuh curiga pada seseorang yang mungkin mencuri pekerjaannya. Mendengarnya berkata, aku jadi menginginkan jika kasus ini dipegang Anggabudi. Dengan adanya Geneva, mungkin kami bisa mengintip sedikit ke berkas kasus dan sedikit membantu penyelidikan. Namun, sayang sekali Politeknik Negeri Ciwaruga berada di yurisdiksi Polrestabes Bandung, sehingga Polres Cimahi tidak mungkin ikut campur.

"Oh, baik. Tenang saja, kami tidak akan mengganggu," sahutku akhirnya.

Ipda Panca beranjak dari ruang dosen dengan timnya, sementara itu Januar duduk di hadapan aku dan Geneva.

"Aku sebenarnya tidak percaya kalau Sultan melakukan plagiasi cetak biru mesin. Dia terlampau pintar hanya untuk mencuri hal semacam itu. Dia bisa membuat yang lebih baik dari mesin mobil listrik milik Universitas Harapan," ungkap Januar kemudian.

"Maksud kamu gimana, Jan?" tanyaku sambil mendekatkan wajah setelah menengok ke arah perginya Ipda Panca.

Januar lalu bangkit dan menuju meja kerjanya. Di belakang meja kerjanya, ada rak buku kayu berpintu kaca. Ia membukanya dan mengambil sebuah jurnal—seperti skripsi.

"Ini laporan tugas akhir punya Sultan saat sidang untuk mendapat gelar D4. Coba kamu cek. Sebagai orang teknik, menurutmu bagaimana isi tugas akhir punya dia?" tanya Januar lagi. Ia menyodorkan laporan tugas akhir bersampul biru tua padaku.

Sekilas, aku membuka halaman demi halaman. Pada bab empat yang berisi hasil pengoperasian atau pembahasan tugas akhir, dapat kulihat laporan yang sungguh komprehensif. Kata-kata yang ditulis begitu runut dan terstruktur. Mencapai bagian simpulan pada bab lima, isinya pun membuat aku tertegun.

"Ini seperti bukan buatan anak kuliah. Aku tentu saja nggak bisa membuat TA sebaik ini. Kau ingat kan? Dulu TA punyaku hanya tentang homebrew antenna untuk mencuri siaran luar negeri," jawabku sedikit bercanda.

Januar mengangguk pelan dan kemudian menyahut, "Dia bimbingan juga denganku saat aku sedang di rig, via Skype. Sebab dia percaya bahwa aku pasti akan mempercayai hasil karyanya, maka aku pun dimintakan bantuan untuk membimbing tugas akhirnya. Berdua sama Pak Rizka. Kalau kulihat dari situasinya saat Skype, sepertinya ia menghubungiku dari warnet."

"Dari bimbingan itu, kamu yakin kan dia bukan plagiat?" tanyaku lagi.

Januar mengangguk. "Yakin, seratus persen," balasnya tanpa ragu.

Lalu, di tengah-tengah obrolan kami, Geneva pun menghela napas. "Lalu, seperti yang tadi Hira tanyakan. Mengapa ketika lulus, dia begitu kesal sama kampus ini?"

"Aku juga nggak tahu. Namun, kurasa ini ada kaitannya dengan plagiasi cetak biru mesin itu. Tepat sebelum kompetisi Mobil Listrik regional Bandung, juri mengatakan bahwa cetak biru mesin punya KMLI Poliga dan KMLI Universitas Harapan, betul-betul sama. Tak ada yang bisa menebak, siapa yang melakukan plagiat atau mencuri ide. Namun, saat itu Sultan memang bukan tipe orang yang bisa berkomunikasi dengan baik. Jadi, para penonton acara, meneriaki pihak KMLI kampus kami sebagai pencuri ide orang Harapan. Sultan tidak bisa menyangkal dan ia meninggalkan lokasi lomba sambil berlari," jelas Januar runut.

"Begitu rupanya. Kalau begitu, apa setelah lulus, dia masih tinggal di sekitar kampus?" tanya Geneva lagi.

Januar terlihat mengingat-ingat. Ia menerawang sembari menggaruk dagunya, lalu ia pun menjawab, "Kurasa masih. Kalau tidak salah, dia indekos di sekitar sini."

"Oke kalau begitu. Kamu tahu di mana tempat dia indekos?"

Januar menggeleng. Namun, beberapa saat kemudian, ia berseru, "Ah! Aku tahu. Salah satu anak didikku yang ada di KMLI juga teman dekatnya. Dia pembalap mobil listrik kami dan mungkin dia tahu tempat indekos Sultan."

"Ya sudah, ayo kita temui dia dulu," jawabku menutup diskusi kali ini.

Kami pun bergegas menuju lokasi acara. Setelah mengunci ruang dosen, Januar lalu menyusul kami yang sudah berjalan lebih dulu. Menurut Januar, sahabat Sultan ada di sekitar lokasi acara, atau mungkin di markas KMLI. Aku memutuskan untuk menuju lokasi acara dan coba untuk sedikit mengintip TKP. Siapa tahu saja, Ipda Panca tidak sedang berjaga di sana.

Pustaka Geneva (Dalam Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang