11 // D

6.7K 210 3
                                    

Pikiranku kalut, aku tak bisa berpikir normal. Panas sekali, aku mendekati remote AC dan menurunkan suhunya ke suhu yang paling rendah. Aku ingin sekali membuka baju. Tanpa sadar aku sudah menaikkan bajuku hingga leher.

"Kezia! Apa yang kamu lakukan?" Nathan menghampiriku.

"Panas, Mas. Panas..." ujarku tanpa sadar.

Nathan memperbaiki bajuku lalu menggendongku ke arah tempat tidur ala bridal style. Aku mengalungkan tanganku ke lehernya erat-erat. Sumpah, aku seperti perempuan tak tahu malu, tapi aku tak bisa mengontrol diriku. Sekujur tubuhku rasanya ingin disentuh. Aku merebahkan kepalaku ke dadanya. Aku bisa mencium aroma maskulin yang memabukkan, tapi menenangkan.

"Tidur. Tutup matamu dan jangan pikirkan hal-hal lain. Aku tidak ingin kau menyesal nanti." Nathan membaringkan tubuhku di tempat tidur. Aku berusaha untuk menenangkan diri dan tidur. Tapi tidak bisa... Aku membuka mata dan segera dalam posisi duduk, berusaha membuka baju yang sedang kupakai.

Nathan menggeram melihatku melakukan itu.

"Pakai kembali bajumu."

"Tapi ini sangat panas! Aku janji aku hanya melepas baju saja. Setelah itu aku akan tidur."

Nathan diam sebentar lalu mengangguk sedikit dan berbalik ke membelakangiku. Aku sudah agak tenang sekarang, walau jantungku masih berdebar-debar. Aku berusaha tidur dan tak lama aku hilang ke dunia mimpi.

*****

Ketika aku bangun, aku tidak melihat sosok Nathan di sebelahku. Tapi sayup-sayup terdengar gemericik air. 'Sepertinya Nathan sedang mandi' pikirku. Aku melihat ke bawah dan melihatku yang tidak "berbaju". Kejadian tadi malam seketika terputar dalam kepalaku membuat pipiku panas. Untung saja 'hal' itu tidak terjadi. Maksudku, memang kita sudah resmi. Hanya saja aku lebih ingin melakukan 'hal' itu atas dasar cinta dan tentunya sudah resmi. Nah, yang resmi kan sudah, tapi cintanya belum. Jadi, tujuan utamaku sekarang adalah membuatku dan dia jatuh cinta sepertinya? Aku melakukan hal ini karena aku ingin pernikahan yang sakral ini kulakukan hanya satu kali. Dan untuk membuat hal itu terwujud, harus ada cinta bukan? Aku akan memercayakan semuanya kepada Tuhan.

Jam di telepon pintarku menunjukkan pukul enam pagi. Aku menghela napas, lalu mengambil baju pinjaman yang kemarin kulepas dan memakainya kembali. Tiba-tiba teleponku mendengungkan lagu EXO-Power yang menandakan adanya telepon masuk. Terlihat ID Caller orang yang meneleponku. Xela.

"Halo?" jawabku pelan.

"WOI GIMANA MALEM PERTAMA?! DAH JEBOL BELUM?"

Aku menjauhkan teleponku dari telingaku. Telingaku yang malang. Pagi-pagi sudah berdenging saja.

"Volume kecilin, pak. Malam pertama apa? Kita gak ngapa-ngapain kok."

"LAH?! KOK GITU SIH KEZZZ???" terdengar suara Irma yang tiba-tiba muncul.

"Aduh, berisik bener, pak. Aku tutup dulu ya, say. Bye!!!"

"Ke-"

Aku segera mematikan panggilan. Itu berdua makin ke sini makin gak benar saja. Aku menggerutu lalu melihat ke arah lemari. Whoops. Ternyata Nathan sudah selesai mandi. Glek. Semoga Nathan tidak mendengar pembicaraan tidak jelasku dengan kedua iblis itu.

"Mas mau breakfast?" aku memberanikan diri bertanya kepada Nathan. Seperti biasa, ia tidak berbicara, hanya mengangguk dan bahkan tidak menoleh ke arahku.

"Kalau gitu, boleh tungguin aku gak? Aku mandi gak lama kok."

Nathan kembali mengangguk. Aku lalu berjalan ke arah kamar mandi dan tentu saja, mandi.

Restoran hotel dipenuhi oleh keluargaku dan Nathan serta sahabat dan kolega. Orang tua Andre juga ada, duduk di samping orang tuaku dan Kak Riana di sebuah meja.

"Selamat pagi." Nathan dan aku menyapa mereka. Setelah mengambil makanan, kami berbincang-bincang dengan mereka.

"Gimana minuman yang tante kasih? Mantep ga? Bundamu juga bantu lho." tanya Tante Miranda sambil memandangku dan Nathan dengan senyum aneh. Semburat merah kembali menghinggapi pipiku. Ya ampun. Aku sepertinya sering sekali malu akhir-akhir ini.

"Bunda gak sabar nih, ingin gendong cucu. Kamu juga nurut ya Kez, sama Nathan."

"Iya, Bun." aku mengangguk dan melanjutkan makan. Setelah selesai kami ditarik oleh teman-teman kami untuk 'mengobrol'. Lebih tepatnya menginterogasi. Bisa kudengar pertanyaan-pertanyaan dan gelak tawa sahabat Nathan saat sedang 'mengobrol' dengan Nathan. Sedangkan aku? Nasibku sama saja. Irma, Xela dan teman-teman sepermainanku yang lain juga tidak kalah.

Setelah ditahan kira-kira tiga jam, aku kembali berjalan ke kamarku. Sepertinya Nathan juga baru saja dilepas oleh teman-temannya. Kami bersama-sama menaiki elevator.

"Mas." panggilku ketika kami berada di dalam elevator. Kebetulan hanya kami berdua saja yang ada di dalamnya.

"Hm?"

"Mmm... Hari Sabtu ini Mas kerja gak? Kalo nggak, mau temenin aku ke DuFan ga? Tapikalogamaujugajugagapapaakugamaksakokakutahumassi-" aku gugup dan membuat kalimat terakhirku tidak begitu jelas. Nathan memotong perkataanku.

"Boleh."

Aku membelalakkan mataku tak percaya. Aku memandang Nathan lekat-lekat.

"Serius, Mas? Kalau Mas gak bisa atau capai, aku gak apa-apa kok. Maaf ya Mas, ngerepotin."

"Sudah kubilang aku bisa. Jadi kamu mau apa tidak?" suaranya yang tegas menyadarkanku.

"Mau! Makasih ya, Mas."

Aku tersenyum senang memikirkan wahana apa saja yang akan kunaiki nanti. Sudah lama aku tidak pergi ke DuFan, dan tadi Irma menyarankanku untuk pergi ke sana dengan Nathan. Untung saja Nathan mau, hehe. Aku jadi bisa melakukan "upaya" untuk mewujudkan tujuanku. Sabtu, tunggu kami!

A/N: Hiyaaaa!!! Maaf nih aku baru bisa update :( 2000 reads??!! OMG! makasih banyak ya gais. Maaf ya chap ini pendek. Minggu depan pasti lebih panjang sih. Ditunggu aja ya! Love youu 💕💕💕


Melting My Husband's Cold Heart {ON HOLD}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang