Satu

960 50 0
                                    

Menunggu. Mungkin itu adalah hal yang paling tidak disukai oleh banyak manusia di muka bumi, membosankan dan membuang-buang waktu, begitulah anggapan Naira. Sudah hampir satu jam ia menunggu, tapi yang ditunggu-tunggu belum juga menampakkan batang hidungnya.

Matanya menatap satu per satu plat kendaraan yang berjalan lambat di depan matanya. Mencoba menghitung jumlah angka yang ada di plat kendaraan yang terjebak macet itu untuk menghalau rasa bosan yang mendera.

Seragam putih abu-abu lengkap dengan sepatu dan tas yang masih melekat di tubuhnya menandakan bahwa ia belum pulang ke rumah sejak jam sekolah usai. Nayyaka Naira H. H., begitulah nama yang tertera di seragamnya.

"Nai," Panggil seorang gadis dengan panjang rambut sebahu tak jauh dari tempatnya berdiri. Kepalanya lalu menoleh ke arah datangnya suara. Alysa, sahabatnya tampak berlari-lari ke arahnya. Naira memasang tampang galak, Alysa terkikik sambil menyodorkan sebotol minuman dingin.

"Nih, untuk ngedinginin lo yang panas-panasan nungguin gue. Sorry, nunggunya nggak lama kan?" Tanya Alysa masih dengan cengiran tanpa dosanya.

"Lo tetep nggak bisa nyogok gue dengan ini, lo pikir nunggu lama itu enak apa? Liat nih, rambut gue udah kuning kena debu karena kelamaan nungguin lo. Untung gue nggak pulang duluan ninggalin lo." Omelnya. Namun tak urung, tangannya meraih minuman yang masih disodorkan oleh Alysa.

"Yeee, ngomong doang, diambil juga akhirnya. Yuk, ah. Udah sore, ntar kemaleman lagi sampai rumah." Alysa menarik tangan Naira.

"Yang keluar telat siapa coba? Salah sendiri."

"Ya gue juga nggak tau. Tadi ada rapat mendadak untuk tim inti basket, makanya jadi gini. Tunggu bentar." Ujar Alysa sambil mengikat tali sepatunya yang terlepas, "Oh iya, Nai. Gimana rencana liburan lo? Jadi ke Semarang?"

"Jadi dong, udah lama banget gue nggak ke sana, ketemu sama keluarga besar. Kangen juga sama suasananya, kali aja dapet suasana baru."

"Wah, gue doain, semoga lo happy di sana. Gue doain juga, kali aja lo dapet jodoh di sana, biar cepet move on dari si–"

Naira langsung membekap mulut sahabatnya itu, "Issh, apaan sih. Udah ah, gue males ngomongin dia."

"Yeee, gue nggak ngomongin dia kali. Gue kan cuma doain semoga lo cepet move on dari–"

"Alysa! Udah deh, lo sama matahari Jakarta sama aja, sama-sama bikin gue panas." Naira berjalan meninggalkan Alysa.

Alysa terkekeh, "Eh, sejak kapan Jakarta punya matahari? Jakarta mah cuma dapet teriknya doang."

"Berisik! Garing tau!"

Alysa terkikik geli. Ia paling suka menggoda Naira. Sahabatnya itu selalu lucu jika ngambek, ekspresi wajah dengan kedua alis tertaut, mata sipitnya mengecil, pipi tembam dengan bibir mungil mengerucut membuat siapa saja gemas ingin mencubit pipinya.

"Iya, iya. Udahan ngambeknya. Yuk, kita pulaaanggg." Teriak Alysa riang merangkul bahu Naira.


***


Cuaca panas sore itu sedikit membuat gerah, namun langit seakan tetap ingin memuntahkan isinya. Titik-titik air mulai berjatuhan menambah tidak nyaman keadaan udara.

Naira berlari-lari kecil dengan tangan terangkat ke atas memegang tas hijau tosca-nya berusaha melindungi kepalanya dari hujaman air langit yang mulai menderas. Beberapa langkah lagi, ia akan sampai di depan pintu pagar rumahnya.

Karena kedua tangannya masih betah pada posisi di atas kepala, ia sedikit menendang pintu pagar rumah dengan sepatunya. "Pak, Pak Jupri. Tolong bukain pintunya dong, pak." Teriaknya setelah tidak ada yang muncul membukakan pintu.

1 detik,

3 detik,

6 detik,

Duh, nih Pak Jupri kemana sih? Biasanya langsung ngebukain pagar, gerutunya dalam hati. Pak Jupri adalah satpam keluarga Hertawan yang sudah bekerja pada keluarga itu sejak dua belas tahun yang lalu.

"Pak Jupri, ini Nai udah pulang. Tolong bukain pagarnya, pak." Teriaknya lagi dengan kaki masih menendang bagian bawah pintu pagar.

Sreekkk..

Naira sudah akan berlari masuk saat pintu pagar dibuka. Namun, sebuah tangan menghalangi jalan masuknya.

Kepalanya mendongak ingin protes, "Pak, hujan panas nih. Nai bisa..." Ucapannnya terhenti ketika matanya menatap sosok di hadapannya. Bukan Pak Jupri yang biasa menyapanya ramah, namun sosok pemuda jangkung berhidung mancung dengan kulit sawo matang menatapnya dingin dari ujung kepala hingga ke ujung kaki balik lagi ke ujung kepalanya.

"Apa?" Ucapnya galak. "Pak Jupri mana, kenapa gak bukain pintu pagar?" Tanyanya dengan kepala melongok ke dalam.

"Kamu siapa?" Tanya laki-laki itu datar, tak mengindahkan pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Tangannya masih menghadang jalan masuk yang terbuka sedikit dan menutupi arah pandangan Naira.

Naira balas menatapnya dari ujung kepala ke ujung kaki. Matanya menyipit waspada. Siapa sih, ni cowo? Songong banget.

"Justru harusnya saya yang nanya, kamu siapa? Kenapa bisa ada di sini membukakan pagar rumah saya?" Nada suaranya tidak lagi santai.

Kening lelaki itu berkerut. Rumah saya? Apa jangan-jangan..

"Ada apa ini, kenapa ribut-ribut tho, San?" Sebuah suara dari dalam berhasil mengalihkan fokus keduanya.

Bik Misna muncul dari balik pintu, wanita setengah baya itu terlihat kaget, "Oalah, non Nai kenapa berdiri di situ hujan-hujanan? Ini hujan panas lho, non. Nanti non Nai sakit lagi." Nada suaranya terdengar panik sekaligus khawatir. Tangannya buru-buru meraih payung dan berjalan menuju pagar.

"Kamu ini lho, San, kenapa non Naira dibiarkan hujan-hujanan nggak disuruh masuk, ini sudah sore. Ayo, buka pagarnya lebih lebar lagi, Hasan." Pelotot bik Misna pada pemuda yang barusan diketahui Naira bernama Hasan itu.

"Mari, non." Ajak Bik Misna memayungi Naira meninggalkan Hasan yang melongo menatap punggung kedua perempuan itu.


***


Bersambung..

Sedikit ya? Hehe, baru permulaan. Semoga suka:)

Takdir Indah Untuk NairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang