Dua

419 36 0
                                    

Fida sedang memasukan adonan brownies ke dalam oven saat telinganya mendengar suara Naira, putrinya dari dalam ruang keluarga. Dari tadi gadis itu sudah misuh-misuh sejak masuk rumah. Berjalan kesana-kemari dengan muka ditekuk sambil mendumel.

Fida mendekati putrinya, "Kenapa sih, dek? Dari tadi mama perhatiin grusah-grusuh nggak jelas."

"Mama lihat obat Nai nggak? Kok dari tadi Nai cariin di mana-mana nggak ada sih? Hilang kemana tuh obat? Perasaan terakhir kali Nai taruh di kotak obat deh. Tapi ini nggak ada, udah kayak hilang ditelan cicak." Cerocosnya entah pada siapa.

"Lho, jadi obatnya belum diminum? Obatnya kan sudah mama siapin di meja makan. Kamu dengar nggak sih, tadi mama bilang apa? Setelah mandi dan ganti pakaian, kamu langsung ke ruang makan." Fida memulai aksi mengomelnya.

"Gak tau, Nai nggak dengar mama tadi bilang apa." Naira nyengir kuda.

"Ya ampun, Naii. Udah, sekarang langsung diminum obatnya. Sekarang udah hampir satu jam sejak kamu hujan-hujanan. Gih, cepetan! Bentar lagi kamu bakal–"

Haassyyiiimm!! Haa.. Haa.. Hasyiiimm!!

"Tuh, kan. Mama bilangin juga apa. Bandel sih. Sekarang buruan diminum obatnya, kalau tambah parah, kamu sendiri yang susah." Omel Fida sambil mendorong-dorong punggung Naira ke arah ruang makan.

Naira langsung ngacir ke ruang makan.

"Iya, mama. Nai nggak bakalan drop. Nai tadi nggak hujan-hujanan kok, cuma kena hujannya dikit, dikit banget. Itu juga gara-gara tuh cowo yang ada di depan. Siapa sih, ma? Kok dia ada di sini, mana gayanya itu loh, sok banget, maa." Adunya kepada sang mama.

Sementara ia minum obat, mamanya berbicara,

"Ooh, itu. Namanya Hasan. Untuk beberapa hari ini Pak Jupri izin nggak masuk kerja, jadi nggak ada yang jaga di depan. Kebetulan tadi kakekmu datang ke sini ditemani dua orang pegawai dari kantornya, nah, salah satunya itu ya si Hasan. Jadi tadi si Hasan yang diminta bukain pagar kalau ada tamu." Jelas Fida panjang lebar. "Kamu juga, kenapa sampai bisa ribut sama dia?"

"Habis, Nai ketok-ketok pintu pagar lamaaa banget bukainnya. Pas udah dibukain, Nai malah nggak disuruh masuk, malah diinterogasi lagi. Tatapan dia tuh mengintimidasi Nai, ma. Kayak Nai cewe mau maling rumah orang aja, emang tampang Nai kayak maling apa?! Belum tau dia, cewe yang diinterogasinya itu siapa." Cerocos Naira sedikit lebay. Nih anak kalau udah ngomong sama mamanya ya gitu, suka lebay.

"Bukannya itu bagus, berarti dia jagainnya pagarnya sudah benar. Nggak sembarang ngebukain pintu sama orang yang nggak dikenal." Komentar Fida.

"Dih, tapi Nai gak suka. Gayanya itu loh, ma, songong gitu, sok banget lagi. Awas aja kalau Nai sampai flu berat." Ucap Nai dengan bibir mencebik lucu.

Fida terkekeh, "Kamu ini, tadi katanya cuma kena hujan sedikit dan nggak bakalan drop, kok sekarang malah mengancam sampai ke flu berat sih."

"Biarin aja. Biar kita jadiin satpam beneran tuh, untuk gantiin Pak Jupri. Lagian kan, Pak Jupri udah tua, biar aja si 'Hasyiim' itu yang gantiin jadi satpam." Ujar Nai menekankan pada kata, 'Hasyiim' seperti orang bersin.

"Hush, nggak baik ngomong gitu. Namanya Hasan, Nai. Bukan Hasyiim." Fida mengingatkan Naira. Ada sedikit rasa geli di hatinya saat mendengar ocehan anak perempuan satu-satunya di keluarga itu.

"Oiya, tadi mama bilang kakek ke sini. Ngapain, ma? Sejak jam berapa? Kok sekarang nggak ada di sini? Ada kerjaan sama papa? Apa kakek mau jemput Nai supaya liburan di Semarangnya lebih cepat? Atauu, kangen sama Nai, yaa?" Naira menaik-turunkan sebelah alisnya.

"Kamu ini, kalau nanya ya satu-satu, dek. Pelan-pelan, nanyanya beruntun gitu."

Naira nyengir sambil memperhatikan aktivitas mamanya mengelap piring untuk makan malam.

Fida melanjutkan, "Tadi siang datangnya, kakekmu ada urusan sama papa. Pulang ke Semarangnya besok. Kamu mau sekalian ikut kakekmu ke Semarang?" Tanya Fida sesekali menatap putrinya.

"Hm, ikut nggak ya? Ntar aja deh, ma. Masa classmeet juga belum selesai, kelas Nai masuk final untuk tanding bulutangkis. Kalau Nai nggak ada, siapa yang jadi perwakilan kelas di final nanti? Bisa-bisa kalah kelas Nai nanti."

"Jangan sombong gitu, dek. Ntar kalau kalah beneran, mau?"


***


Naira sedang merapikan meja belajarnya ketika ia merasa pintu kamarnya mengeluarkan suara. Bukan sih, lebih tepatnya si pintu mengeluarkan bunyi karena diketuk dari luar.

"Dek, makan malam dulu. Yuk, udah ditungguin tuh, dibawah." Suara sang mama terdengar dari balik pintu.

"Iya, ma. Bentar lagi Nai turun." Jawabnya.

Ketika akan sampai di meja makan, ia tersenyum riang kepada sang kakek. Ruang makan itu terasa lebih ramai dari biasanya. Matanya beralih pada orang-orang yang mengelilingi meja makan lalu terhenti pada satu sosok.

Matanya kembali menyipit dengan kedua alis bertautan. Merasa diperhatikan, Hasan lalu menengok ke arah Naira, "Ada apa?" Tanyanya datar.

Naira membuang muka, mengabaikan laki-laki itu. Ia tersenyum tipis pada laki-laki di sebelah Hasan yang diduganya sebagai teman Hasan atau pegawai satu lagi yang menemani kakeknya. Ia lalu menduduki kursi kosong yang berada di depan teman Hasan yang entah siapa namanya.

***


Bersambung..

Takdir Indah Untuk NairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang