Enam

332 32 2
                                    

Naira membuka mata lalu melirik arloji di tangan. 15 menit lagi pesawat yang ditumpanginya akan landing. Kepalanya menoleh ke arah jendela di sebelahnya lalu mengambil makanan yang tadi belum sempat dimakan olehnya.

Tak sampai 25 menit kemudian. Naira berjalan dengan mengeret koper sambil mengaktifkan kembali ponselnya. Kepalanya sesekali menengok ke segala arah mencari sosok kakek yang akan menjemputnya di bandara.

Ponselnya berdering, 1 panggilan tak terjawab dari kakeknya. Apa kakek udah nunggu dari tadi? Tanyanya dalam hati.

Matanya berkali-kali menatap sekeliling, tapi belum juga nampak tanda-tanda keberadaan kakeknya di bandara itu.

Telinganya lalu mendengar deheman seseorang dari belakang, "Permisi."

Ia menoleh,

"Cucu pak Rahman?" Tanya laki-laki yang berdiri di belakangnya.

Tunggu! Sepertinya ia pernah bertemu dengan laki-laki ini. Wajahnya terasa tidak asing baginya.

Laki-laki itu sedikit memiringkan kepala dengan alis sebelah terangkat. Beberapa detik kemudian, "Mari ikut saya." Ucapnya.

Naira bergeming. Matanya masih menatap waspada pada laki-laki di depannya. Lelaki itu menghela nafas.

"Saya diminta oleh Pak Rahman untuk menjemput kamu sekarang. Beliau sedang ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggalkan."

Naira mengerutkan dahi, dia tidak bisa percaya begitu saja dengan lelaki ini. Kakeknya tidak pernah mengutus seseorang untuk menjemputnya setiap ia datang ke Semarang, dan ia tahu betul akan hal itu.

Ayah dari ibunya itu selalu datang sendiri untuk menjemputnya di bandara. Beliau tidak pernah mempercayai orang lain untuk menjemput cucu-cucunya selain untuk mendampingi kakeknya saja. Sesibuk apapun sang kakek selalu menyempatkan waktu bahkan rela membatalkan pekerjaan apapun demi menjemputnya. Lalu, bagaimana mungkin dengan alasan seperti itu, sang kakek mengutus orang lain untuk menjemputnya? Apalagi yang diutus adalah seorang laki-laki.

Lelaki itu kembali menghela nafas dengan sedikit kasar, "Saya tidak akan membuang-buang waktu untuk menunggumu melakukan hal-hal yang tidak berguna seperti ini. Masih banyak hal yang harus saya kerjakan." Ucapnya dingin.

Naira tersentak dengan mata melebar dan bibir sedikit membuka, apa maksudnya dengan 'melakukan hal-hal yang tidak berguna seperti ini?'.

Ia semakin melongo ketika laki-laki itu tiba-tiba membalikan badan ke arah pintu luar.

"Ikut saya atau pergi sendiri dengan taksi!" Kata-kata itu terdengar samar, namun masih bisa ditangkap oleh telinganya. Naira menoleh ke arah jendela, di luar sedang hujan deras. Matanya kembali beralih ke arah laki-laki yang sudah berjalan meninggalkannya. Punggung pemuda itu tampak semakin jauh.

Tanpa berfikir panjang,

"Tunggu!" Teriaknya, "Gue ikut!"

***

Naira sedang menikmati keripik kentang sambil menonton tv di kamar ketika ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Dering berhenti, digantikan dengan tulisan, 1 panggilan tak terjawab.

Naira meletakkan ponsel di atas meja lalu melanjutkan aktivitasnya. Tangannya baru akan kembali mencomot keripik kentang saat ponselnya kembari berdering. Nomor yang sama dengan nomor tadi. Naira mengangkat ponselnya lalu menekan tombol hijau dan memosisikan ponsel itu tepat di telinganya.

"Halo." Sapanya kepada si penelepon.

Tak ada jawaban dari seberang sana.

Tut..tut..tut..

Takdir Indah Untuk NairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang