11. Hati Daffa

121 26 9
                                    

"Apa gue harus sujud di kaki lo, agar lo mau mencintai gue sebelum takdir memisahkan kita?"

-Daffa Putro Purnomo-

•••

Daffa duduk termenung di bangku yang ada di balkon kamarnya. Dirinya menatap ke arah jalanan dengan tatapan yang sulit di artikan. Dia heran dengan Dea. Perempuan itu, kadang sulit di mengerti apa maksud dari tindakannya. Kadang Dea memberikan celah untuk Daffa untuk bisa memiliki hatinya, kadang pula Dea seolah tak peduli dengan apa yang Daffa lakukan. Jadi sebenarnya, Dea itu suka dan sayang apa tidak dengan dirinya? Aish, memikirkan itu membuat dirinya pusing tujuh keliling.

Daffa menjambak rambut yang sudah tertata rapi dengan kedua tangannya. Dirinya bingung harus melakukan apa. "Apa gue nyerah aja ya? Tapi kalau nyerah, nggak gentle banget gue jadi cowok. Tapi gue juga butuh kepastian udah setahun gue ngejar dia, tapi dia nggak peka - peka."

Daffa menghela nafas kasar, dirinya menyandarkan punggungnya kesandaran kursi memejamkan kedua matanya, dirinya lelah, sangat lelah. Mulai dari Dinda yang mengaku sebagai mantan dirinya, Dea yang belum juga peka dan masih banyak masalah lainnya yang hanya di ketahui oleh Daffa.

Tak sadar, kini dirinya sudah terlelap ke alam bawah sadar dirinya kini tertidur dengan posisi menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi, kedua tangannya ia letakkan di atas perutnya, sementara pagar balkon menjadi tumpuan kedua kakinya.

Pintu kamar Daffa terbuka, sosok perempuan paruh baya muncul dari balik pintu. Melihat sang anak tertidur, dirinya tersenyum penuh arti. "Bunda, Diana lapar, Bunda temani Diana makan ya," Suara itu, membuat sang Bunda tersadar dan mengalihkan pandangannya ke arah Diana, adik Daffa.

Bunda mengangguk, "Ayo sayang," Bunda tersenyum kepada Diana.

"Bang Daffa nggak ikut makan siang Bunda?" Tanya Diana dengan ekspresi lucunya  Mereka berdua berjalan menuruni tangga menuju meja makan.

"Bang Daffanya lagi tidur sayang nanti kalau sudah bangun, pasti bang Daffa ambil sendiri." Diana hanya mengangguk mendengar jawaban dari sang Bunda.

Waktu berjalan begitu cepat, Daffa merasakan cahaya yang menyinari sekujur tubuhnya. Perlahan kedua mata yang di lapisi bulu mata lentik itu terbuka. Dirinya tersentak, saat tahu bahwa matahari sudah mulai terbenam. "Jam berapa sekarang? Gue nggak shalat Dzuhur, dan mungkin..." Ucapannya terpotong saat adzan Maghrib mulai berkumandan. "Dan mungkin, nggak shalat Ashar juga." Lanjutnya.

Daffa menepuk keningnya. "Aish... Kenapa bisa sampai kelupaan Shalat sih? Kenapa juga gue harus ketiduran. Dan gue juga belum mandi." Ucapnya sambil mengendus kedua ketiaknya secara bergantian lalu dirinya memasang ekspresi seolah - olah mencium bau yang amat menjijikan.

Dirinya segera masuk ke kamar, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah mengeluarkan bau yang tak sedap. Daffa itu tipe orang yang tak suka berlama - lama jika berada di kamar mandi. Jadi dirinya hanya memakan waktu tiga sampai empat menit jika di kamar mandi.

Dirinya keluar dari kamar mandi dengan hanya dengan menggunakan handuk untuk menutupi bagian bawahnya. Sebenarnya Daffa itu rajin berolahraga, terbukti otot di tangannya sudah terbentuk dengan sempurna, hanya saja otot di perutnya alias sixpack belum terbentuk. Dirinya segera menggenakan kaos berwarna hitam dan celana jeans selutut berwarna coklat.

Daffa berjalan menuju meja belajarnya mengambil sajadah dan sarung yang terlampir di bangku yang ada di depan meja belajarnya. Dirinya menggelar sajadah tersebut dan menggenakan sarung bermotif kotak - kotak berwarna merah itu. Dirinya segera menunaikan ibadah Shalat Maghrib dengan khusyu.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,"

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh." Ucap Daffa sambil menoleh kekanan dan kekiri secara bergantian.

Dirinya mengangkat kedua tangannya, "Ya Allah apabila kau izinkan aku untuk mengenal Dea lebih jauh, maka izinkanlah hamba untuk lebih dekat dengan Dea. Ya Allah, dan bila engkau tak izinkan hamba untuk melakukan semua itu, maka buatlah hamba sadar atas itu semua,

'Allahummaghfirlii waliwaalidayya warham humma kamaa rabbayaa nii shaghiiraa'
'

Rabbana aatinaa fiddunnyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, waqinaa‘adzaa bannaar.'

Aamiin" Ucap Daffa lalu mengusap mukanya dengan kedua tangannya.

Dirinya melipat kembali sajadah dan sarung yang ia kenakan untuk Shalat tadi, menaruh kembali di atas bangku. Dirinya berjalan menuju ke arah kasur, mengambil ponsel yang berada di atas nakas yang ada di sebelah tempat tidurnya.

Daffa menyalakan ponsel tersebut, terlihat foto gadis remaja cantik yang tersenyum ke arah camera, foto tersebut di jadikan wallpaper ponsel oleh Daffa. Sepertinya Daffa mendapatkan foto tersebut dari salah satu akun sosial mefia milik Dea.

"Apa gue harus sujud di kaki lo, agar lo mau mencintai gue sebelum takdir memisahkan kita?" Daffa tersenyum getir saat memandangi foto Dea.

Helaan nafas keluar dari hidungnya. Meletakan kembali ponselnya, dan berjalan kearah pintu. Dirinya berniat untuk makan malam bersama di ruang keluarga. Sesampainya di ruang keluarga, seperti biasa sudah ada Ayah, Bunda, dan adik tersayangnya.

"Bang Daffa." Pekik Diana dengan senang.

Daffa hanya tersenyum sebagai jawaban. Dirinya duduk berhadapan dengan Diana. Bundanya duduk di samping Diana sementara Ayahnya duduk di sebelah dirinya.

Dirinya mulai menyendokkan nasi beserta lauhnya ke piring yang telah di sediakan. Melihat semua anggota keluarnya sudah mulai makan membuat dirinya ikut lapar. Makan malam berlangsung dengan hening. Tak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan.

Usai makan malam, Daffa duduk di ruang tamu sambil menonton tv. Sebenarnya bukan untuk menonton tv, hanya menemani Diana mengerjakan Pr di ruang keluarga. Daripada bosan karena Diana tak pernah menanya tentang soal yang tertera, lebih baik dirinya menonton tv. Itung - itung menghilangkan stress.

Daffa merasa punggungnya di tumpu oleh sesuatu, dirinya menoleh melihat siapa memegang punggungnya, itu Ayahnya. Dirinnya menghela nafas, sementara itu papahnya sudah duduk di sampingnya.

"Diana?" Diana menoleh karena merasa namanya di panggil.

"Iya pah?" Jawabnya.

Papahnya tersenyum, "Gimana Pr nya? Bisa kan sayang?"

Diana tersenyum riang dan mengangguk, "Iya pah bisa kok"

Papahnya membalas semyuman Diana. Kini sang Papah mengalihkan pandangannya untuk melihat ke arah Daffa.

"Gimana? Kapan kamu siap meneruskan perusahan Papah?" Tanya sang Papah kepada anak lelakinya itu.

Daffa menghela nafas untuk kedua kalinya, "Pah, Daffa masih Sma. Nanti kalau Daffa udah jadi sarjana pasti Daffa akan nerusin perusahan papah. Papah tenang aja." Jawab Daffa dengan nada yang malas.

"Mas kamu, Mas Danu, dia udah nerusin usaha papahnya dari masih kelas satu Sma. Sementara kamu?"

"Pah, setiap anak itu punya perbedaan. Daffa ya Daffa. Mas Danu ya, Mas Danu. Kita beda pah. Lagi pula Daffa udah bilang dan udah janji akan nerusin perusahaan papah." Kesabaran Daffa habis Sudah. Dirinya menggelengkan kepalanya dan menuju kamarnya kembali. Meninggalkan Dania yang terbengong karena tingkah Daffa barusan.

•••

Yoho update...

Ditunggu vommentnya

Love

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DafdeiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang