Bagian 6

2.8K 94 13
                                    


Tubuh mereka bertiga terayun-ayun dalam buaian laju truk yang tidak terganggu lubang-lubang jalan rusak. Sopir buncit itu tetap fokus menatap jalan di depannya dengan konsentrasi tinggi. Sang kenek kumal tidak berani nimbrung pembicaraan Bedhor dengan sopir buncit itu.

Menjelang Ashar truk itu berbelok ke rumah makan. Truk-truk lintas provinsi banyak berhenti di rumah makan itu. "RM Sudi Mampir" begitu papan reklame yang berdiri tegak di pinggir jalan negara. Papan reklame warna putih dengan cat merah menyala tulisan identitas rumah makannya. Sopir itu membawa Bedhor dan kenek kumalnya ke meja paling pojok.

Serang pelayan perempuan menghampiri mereka. Pakainnya begitu seronok. Buah dada yang sangat subur itu hampir menyembul keluar dari wadahnya. Bedaknya tebal dan warna bibirnya nyaris biru seperti keracunan tempe bongkrek. Pakaiannya ketat mirip lontong berbungkus plastik. Bokongnya sepertinya kelebihan daging, saat dibawa jalan nyaris jatuh ke ubin. Dengan suara yang dibuat-buat melambai mendayu-dayu ia menawarkan menu makanan.

"Mau makan apa, Mas Manto?" tanya pembantu menor itu.

"Sajikan saja semua di meja, Nem." jawab sopir buncit itu.

Mereka makan dengan lahap. Mata kenek kumal itu sampai melotot-melotot matanya saat tangannya menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya. Sopir tambun yang di panggil Manto oleh pelayan rumah makan tadi pun sudah nambah tiga kali. Bakul berisi nasi itu sudah kosong, kandas.

Jalan negara tetap ramai lalu lalang kendaraan. Bedhor minta ijin untuk mencari mushala untuk menunaikan Salat Ashar. Manto menghilang, berjalan menyelinap ke belakang rumah makan. Kenek kumal masih setia menunggu di meja tempat mereka makan.

Bedhor menemukan sebuah mushala sepi di pinggir jalan antarprovinsi itu. Tak ada satupun jama'ah yang salat di mushala itu. Bedhor mengumandangkan azan tanpa pengeras suara, karena memang tidak ada pengeras suara. Mushala kecil itu nampak berdebu. Sepertinya tidak pernah di bersihkan. Ubin tanpa tikar penuh debu, atap tanpa plafon dipenuhi sarang laba-laba. Bedhor mengelus dada. Ia meraih sapu ijuk yang sudah hampir tidak bisa dipakai menyapu. Dengan susah payah Bedhor berusaha membersihkan mushala itu.

Bedhor menunaikan Salat Ashar dengan kusyuk. Ia pun berzikir setelah selesai salat. Doa untuk kebaikan semua ummat pun ia panjatkan sesudahnya. Sampai di rumah makan Bedhor mendapati kenek itu duduk termangu sendiri di meja makan yang tadi.

"Loh kemana Mas Manto, Mas?" tanya Bedhor kepada kenek kumal itu.

"Nguras oli, Mas," jawab kenek itu.

"Lah itu mobilnya, Mas. Mobil mana lagi yang dikuras olinya?"

"Oli diselangkangannya, Mas."

"Astaghfirullah.."

"Dia punya istri di sini, Mas."

"Istri sah?"

"Siri. Sah menurut agama to?"

"Insha Allah."

"Istri keempatnya yang di sini, Mas Bedhor."

akan menyambut

BIDADARI DARI TEPI SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang