Bagian 2

4.5K 92 16
                                    


Siapa yang tidak mau menari dalam gempita sorak-sorai, sanjung puji, dan mendulang uang yang melimpah. Kekayaan sekejap akan dapat diraih. Kenikmatan duniawi pasti akan dapat direnggut dengan takzim dan masyuk. Berhala "uang" akan memenuhi pundi-pundi kekayaannya. Tapi siapa sosok yang bisa menggantikan Markenes? Para iblis belum menemukan jawaban. Bahkan Dukun Mardubus si raja iblis pun tidak bisa menerawang masa depan.

Matahari begitu teriknya. Pohon-pohon jati kian merana dan setiap hari harus iklas menanggalkan daun-daunnya yang tidak kuasa melawan gravitasi. Burung manyar, emprit, jiblek kehilangan tempat berteduh yang asri. Mereka tetap bertengger di ranting-ranting meranggas meski merasakan lengas udara yang menghardik. Burung-burung itu tidak lelah terus bezikir memuji kebesaran Yang Kuasa.

Daun-daun jati yang berserak menutupi jalan batas antara kawasan hutan dengan perkampungan sesekali berhamburan tertiup angin kemarau. Di peladangan seberang kawasan hutan, tanaman petani tidak kalah merana. Layu dalam dahaga air hujan yang sudah berbulan-bulan enggan turun. Mungkin ini respon kemuakan Tuhan atas prilaku manusia yang kian menjauh dari akhlak yang baik.

Suara daun berserak dari arah Timur menyelinap diantara kicau burung yang mendominasi ruang gendang telinga. Nampak seorang lelaki terseok-seok menapaki jalanan batas anatara kawasan hutan dan perkampungan itu. O, lelaki itu rupanya Bedhor. Sudah puluhan kilometer ia berjalan dari Reja Mulya. Ia membawa buntalan pakaian sumbangan warga desa yang telah menemukan dan menolongnya, ketika ia ditemukan tersangkut di Watu Kebo.

Gurat-gurat wajahnya menampakkan kelelahan, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Sekitar dua kilometer lagi jalan negara yang ia tuju sudah akan tergapai. Bedhor hanya tersenyum-senyum ketika burung-burung yang bertengger di ranting-ranting yang meranggas terus menyemangatinya.

Suara dengus mesin dan ban yang menapaki jalanan sudah mengkudeta suara harmoni alam yang asri. Gedang telinga Bedhor sudah dipenuhi suara-suara modern dan canggih. Lalu lalang kendaraan sudah terlihat jelas di ujung jalan yang bermuara ke jalan negara itu. Bedhor menarik nafas laga.

Daun-daun jati yang luruh di jalanan beraspal mulus itu tersapu angin yang dibawa kendaraan lalu lalang. Terhempas ketepi jalan, pun ada yang terlindas laju ban-ban yang keberatan menanggung beban. Bedhor berdiri di simpang tiga jalan yang membelah hutan jati itu. Tangannya melambai-lambai berusaha menghentikan truk-truk yang lewat di depannya ke arah Barat.

Sudah satu jam lebih berdiri di simpang tiga jalan, tak satupun truk ke arah Barat yang mau berhenti, memberikan tumpangan kepada Bedhor. Dengan langkah gontai Bedhor berjalan kaki menyusuri jalan negara ke arah Barat. Memprihatinkan, gumamnya dalam hati. Apakah orang baik sudah menjadi barang langka? Apakah kepercayaan kepada sesama sudah begitu tipisnya? Sambil berzikir Bedhor terus melangkah dan melangkah tanpa henti.


BIDADARI DARI TEPI SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang