Bagian 1

5.8K 107 11
                                    

Bule itu terhuyung-huyung menapaki jalan rata yang halus seperti pipi Markenes. Ia terlihat limbung, sempoyongan, dan akhirnya tersungkur di selokan. Mukanya nyaris amblas di lumpur busuk buangan najis nista dari rumah esek-sesk Baitul Nikmat. Bule itu mencoba bangkit, tetapi ia kembali tersungkur. Mulut bule itu meracau dengan suara yang tidak jelas.

Dengan susah payah, wisatawan asing itu akhirnya bisa bangkit. Jalannya sempoyongan, sepertinya ia keberatan kepala. Mulutnya terus meracau, bergumam, ngoceh tanpa titik dan koma. Kalau di saring dengan telinga yang masih normal ternyata ocehan ngawur itu adalah kekaguman bule mabuk itu kepada Markenes. Ia memuji bentuk yang indah kemaluan Markenes. Ia mengagumkan kemolekan bentuk tubuh Markenes.

Bule mabuk yang meracau mengagumi Markenes bukanlah ia sendiri. Hampir semua wisatawan yang baru selesai menyaksikan "Tarian Dari Surga" memuji dan mengagumi keindahan tarian dan tubuh molek Markenes. Mereka mendeskripsikan dengan imajinasi kotor masing-masing. Ada yang waras dan sadar karena tidak terpengaruh alkohol, tapi ada yang tanpa sadar mengagumi Markenes. Pemandangan di jalan-jalan Desa Sindang Sari lumrah seperti itu setiap harinya.

Setelah terpilihnya Tukinem menjadi orang nomer satu di desa ini, binis syahwat dan lendir makin menggurita. Lonte-lonte yang menjajakan kemaluannya di desa ini datang dari semua daerah. Penikmat-penikmat yang datang juga datang dari semua daerah bahkan hampir semua negera yang ada di muka bumi.

Ini masa puncak kejayaan Desa Sindang Sari. Kaum pemuja kesenangan mendapatkan surganya di sini. Masyarakat makin sejahtera meski makin miskin moral. Ekomomi bergulir begitu sinergi dengan semakin bobroknya moral warga dan pendatang yang membelanjakan uangnya denga kenikmatan surga dunia yang tersaji di desa ini. Tukinem menjadi pahlawan kemajuan daerah yang dipimpinnya. Sederet penghargaan dari pemerintah ia terima.

Uang kian menjadi berhala yang menjadi sesembahan utama. Tuhan dilupakan bahkan tidak diakui sebagai pemberi segalanya yang mereka terima. Semua di ukur dengan uang.

Mereka sesungguhnya tidak pernah menyadari bahwa kenikmatan duniawi itu semu semata. Nikmat sementara. Apalagi nikmat haram yang harus mereka pertangungjawabkan kepada Tuhan kelak di alam keabadian. Mereka sudah terjebak pada paradigma dunia ini surga sesungguhnya. Mereka makin tidak sadar terhadap kesesatannya, karena nikmat yang mereka terima menjadi ukuran kesuksesan hidup mereka.

Lain halnya dengan para iblis yang bersemayam di bawah pohon beringin samping balai desa Sindang Sari. Mereka makin galau karena mereka sadar, hegemoni kekuasaan mereka di desa ini hanya bertumpu pada Markenes. Jika Markenes makin menua dan sudah tidak dikagumi lagi tentu akan mengnacam eksistenti kekuasaan iblis atas Desa Sindang Sari.

Para iblis itu sibuk mencari sosok pengganti yang dapat menyamai Markenes. Minimal bisa menjadi pengganti yang hampir sepadan. Tapi apa mungkin orang waras mau menari telanjang di panggung terbuka? Sepertinya kerisauan itu tidaklah terlalu mengganggu hati para iblis, dibandingkan dengan sosok sepandan yang bisa meneruskan Markenes. Kalau "uang" nya ada dan banyak, siapa yang tidak mau?

BIDADARI DARI TEPI SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang