Bagian 14

1.9K 73 15
                                    


Dari belakang kelakson panjang menganggu konsentrasi Manto. Tidak lama truk sejenis memotongnya dengan kecepatan tinggi.

"Begitulah hidup, Mas Manto. Menurut kita usaha yang dilakukan sudah cukup gigih, ternyata ada juga yang bisa melakukan lebih dari kita." ucap Bedhor.

"Betul, Mas Bedhor. Hidup itu layaknya seperti berkendara di jalan raya. Ada yang enteng sekali menapaki jalanan ini. ada yang terbebani bahkan sampai terguling ke sisi jalan. Semua tergantung dari nafsu duniawi kita. Jika beban hidup kita terasa berat, mungkin kita tidak bisa mengukur kemampuan kita dengan cita-cita kita. Sehingga hidup kita terasa berat, ngoyo.." papar Manto.

"Bijak sekali sampeyan, Mas Manto."

"Berkat ngaji di jalanan setiap hari, Mas. Bukan di pesantren seperti panjenengan."

"Ngaji itu bisa dimana saja, Mas Manto. Yang penting kita bisa mengais ilmu yang kita dapat dari proses perjalanan hidup itu, untuk menghadapi perjalan hidup selanjtnya."

"Betul, Mas. Tapi ngaji saya bukan ilmu agama, ilmu hidup saja."

"Ilmu agama itu kan untuk membimbing kita agar hidup ini tidak neko-neko, Mas Manto. Jadi pengalaman hidup itu harus menjadi petunjuk hidup selanjutnya supaya kita tidak aneh-aneh."

"Nah itu masalahanya, Mas Bedhor. Kadang pengalaman itu tidak dipakai sebagai rambu-rambu hidup. Sudah tahu salah tetap kita jalankan saja."

"Itu yang harus dirubah, Mas Manto."

"Mudah-mudahan setelah ketemu sampeyan, saya bisa menerapkan nasehat-nasihat bijak itu."

"Aamiin.., sesungguhnya sampeyan lebih bijak kok. Karena sampeyan sinau hidup di jalanan setiap hari."

"Lah, sampeyan sinau agama setiap hari di Pesantren.."

"Bukan jaminan, Mas Manto."

Tidak terasa tujuan akhir truk Manto sudah hampir sampai. Tidak lama truk itu berbelok ke sebuah pasar yang ramai. Turuk-truk berjajar menurunkan muatnya. Manto dengan cekatan memarkirkan kendaraannya di tempat parkir yang tersisa. Pengalaman mengendalikan "kerbau jepang'itu membuat Manto tidak kesulitan menyelipkan truknya pada tempat sempit. Buruh kuli panggul langsung menyerbu barang bawaan manto di atas bak truk.

"Dari pasar ini nanti mas Bedhor melanjutkan perjalanan ke arah Barat, kira-kira delapan jam perjalanan," terang Manto pada Bedhor.

"Oh Baiklah, Mas manto. Terima kasih informasinya."

"Oya, saya sudah sampaikan ke teman sopir yang ke arah sana. Nanti jam sepuluh siang dia berangkat. Kita ketemu di warung makan sama Ngatman."

"Tidak usah repot-repot, Mas Manto. Saya bisa nyari tumpangan sendiri."

"Tidak merepotkan kok, Mas Bedhor. Hidup kata sampeyan harus saling membatu."

Manto mengajak kenek kumalnya dan Bedhor untuk sarapan di warung makan yang ada di susut pasar itu. Mereka sudah menghadapi teh hangat dan berbagai jenis jajanan pasar. Rasa lapar yang sangat membuat Manto dan kenek kumal itu habis melahap sepuluh jajanan pasar. Bedhor baru makan dua jenis saja. Mereka menghirup teh hangat itu dalam-dalam. Suaranya harmonis dengan riuh buruh bongkar muat dan kuli panggul pasar itu.


BIDADARI DARI TEPI SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang