Bagian 15

1.8K 84 66
                                    


Seorang gadis cantik masuk ke warung makan itu juga. Gadis pelayan lapak bumbu dapur itu tidak lain Ririn Winarni. Ia hendak membeli jajanan pasar untuk mengganjal perutnya.

"Astaghfirullah...!" Ririn terkejut melihat Bedhor. Ia mengamati kembali wajah yang menurutnya tidak asing. Seperti Paman Sosro muda, gumamnya. Mungkinkah Paman Sosro ber-reinkarnasi? Ia gugup melihat wajah tidak asing itu. Melihat gelagat itu Bedhor jadi merasa tidak nyaman diamati oleh seorang gadis cantik.

Ririn memberanikan menegur Bedhor. Dengan suara gemetar ia menyapa Paman Sosro muda, menurutnya.

"Maaf, Mas. Wajah sampeyan mirip sekali dengan paman saya yang sudah meninggal."

"Saya?" tanya Manto.

"Bukan tapi mas ini." jawab Ririn sambil menunjuk ke arah Bedhor. Bedhor pucat pasi karena malu.

"Astaghfirullah..."

"Iya bener, Mas. Sangat mirip. Namanya Sosoro Utomo bin Mangun Dikromo Bin Kromo Sentiko Bin Noto Pawiro Bin Den Bei Kartiko Bin Liang Tai Wong (bajak laut dari Tiongkok)"

"O,ya? Tapi nama saya hanya Bedhor saja. Saya datang dari Timur pulau ini."

Ririn menarik kursi plastik, ia memberanikan diri duduk di atas kursi itu. Ia masih saja gugup jika menatap wajah Bedhor.

"Saya hanya singgah di pasar ini. perjalanan saya adalah sebuah desa makmur dan sejahtera di bagian Barat pulau ini."

"Desa apa itu?"

"Saya tidak tahu desa apa namanya, tapi konon di desa itu ada wanita gila yang dijadikan budak. Wanita itu disuruh menari telanjang."

"Apa?"

"Ya, itu..."

"Hmmm itu desa tempat saya lahir. Saya meninggalkan desa itu karena saya tidak bisa merubah fenomena sosial yang amoral itu."

"Ha.."

"Ya, saya kalah dalam pemilihan kepala desa dengan bekas lonte. Desa itu kini dipimpin seorang bekas lonte."

"Astagfirullah..."

"Untuk apa mas ke sana?"

"Hmm, aku, aku, aku diutus guru saya untuk membebaskan perempuan itu."

"Perempuan itu janda Sosro, paman saya yang mirip sekali dengan wajah mas. Tapi mustahil mas bisa membebaskan perempuan itu. Dia gila, dia tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Ada kekuatan modal yang mengendalikannya, Mas."

Bedhor tertunduk mendengar cerita itu. ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelahan. Matanya seperti mengamati ujung jempolnya. Kedua tangannya bertumpu pada lutut.

"Saya harus cepat ke sana," ucap Bedhor.

"Hmmm, sepertinya pekerjaan sia-sia saja, Mas. Mereka terlalu kuat. Punya modal, kekuasaan, dan pengaruh di masyarakat."

"Kita punya Allah, Mbak.."

Ririn terdiam mendengar jawaban Bedhor. Suasana jadi hening sesaat. Hanya suara seruputan teh panas Minto dan keneknya yang menguasai ruang itu. Bau selokan mampat menyeruak menusuk indra penciuman. Tikus got yang sebesar kucing garong kadang-kadang mengintip hendak keluar dari sarangnya.

"Kalau begitu saya mohon diri, Mas. Pembeli mulai berdatangan. Saya harus melayani mereka. Kalau mas hendak ke Sindang Sari, naik bis dari terminal sebelah pasar ini. Ada jurusan ke arah sana."

"Apa tidak sebaiknya mbak ikut ke Sindang Sari?"

"Saya belum siap, Mas. Saya masih ingin menenangkan diri di sini, sambil belajar makna hidup sesungguhnya."

"Tapi sinergi bisa menjadi kekuatan untuk meruntuhkan mereka."

"Saya belum yakin, Mas."

"Yakinlah akan adanya Kuasa Allah."

"Hmmm, kalau begitu siang temui saya di los pasar sebelah Barat belakang, Mas. Di blok pasar sayur. Tanya saja los bumbu milik Bu Sarkem."

"Baik.."


BIDADARI DARI TEPI SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang