Bagian 17

1.8K 73 10
                                    


Ririn mengajak Bedhor berjalan menyusuri jalan beraspal mulus ke arah Timur pasar. Di kanan dan kiri jalan, ruko berjajar semuanya masih buka. Mobil dan sepeda motor parkir tak teratur di depan-depan ruko itu. pembeli keluar masuk di toko-toko yang hampir semua milik cina itu.

Duaratus meter dari pasar Ririn mengajak Bedhor masuk ke lorong gang kanan jalan. Gang itu padat perumahan. Kira-kira limapuluh meter dari dari ujung gang ada rumah bedengan sepuluh pintu, Ririn mengajak berbelok ke bedengan itu. Ririn meraih kunci di dalam tas kecilnya. Ia membuka rumah bedengan nomer tiga dari kanan itu. Di ruang tamu hanya ada tikar plastik. Lantai keramik warna putih itu bersih mengkilat. Ririn membuka sepasang jendela di kiri pintu. Angin pun sepoi-sepoi masuk ke ruangan itu. Dinding warna putih bersih itu tidak ada hiasan dinding apapun kecuaali kalender Toko Makmur. Toko yang menjual alat-alat dapur.

"Tidak ada kopi, Mas. Hanya ada teh yang kurang manis juga," ucap Ririn sambil membawa cangkir berisi teh panas yang masih berasap.

"Ini lebih dari cukup, Mbak."

Bedhor pun menceritakan semua misinya ke Sindang Sari. Ririn tertegun mendengarnya. Kisah perjalanannya dari Timur sampai di bedengan itu pun diceritakan semuanya. Ririn menyimak dengan takzim. Semangat untuk merubah warganya kembali berkobar. Mungkin ini saat tepat untuk berserikat dengan Bedhor yang memiliki misi yang sama. Mungkin ini cara Tuhan mengangkat kembali moralnya untuk menghadapi kenyataan pahit, kalah bertarung dengan lonte dalam perebutan kekuasaan di Sindang Sari.

"Sudah mantap kembali ke Sindang Sari?"

"Asal sama Mas Dedhor saya tidak ragu."

"Bersama Kuasa Tuhan, Mbak. Saya dan sampeyan hanya menjalankan titah-Nya."

"Iya, Mas. Nanti ba'da Maghrib bis dari terminal berangkat ke Sindang Sari."

Ririn dan Bedhor bersepakat berangkat menggunakan bis setelah salat Maghrib. Ririn mengemasi pakaiannya yang tidak seberapa. Berpamitan dengan majikannya. Dan menyererahkan semua hasil penjualan bumbu dapur hari ini.

Ririn dan Bedhor sudah di atas bis Alon-Alon Asal Kelakon jurusan Sindang Sari. Sebelum subuh jika tidak ada halangan bis biasanya sudah masuk ke Desa Sindang Sari. Mereka berencana langsung menuju ke pergelaran "Tarian Dari Surga".

"Tarian daru surga, luar biasa judul pergeleran mesum itu..," ucap Bedhor.

"Itu ide dari lima pemuda progresif. Mereka lah yang mengkapitalisasi kegilaan dan kemolekan Markenes."

"Astaghfirullah.."

"Tumpuaan dari kemajuan dan kesejahteraan sesat itu sesungguhnya bertumpu pada Markenes semata, Mas. Jika Markenes bisa kita selamtakan sepertinya hegemoni mereka akan runtuh."

"Itu sangat kafir.."

"Meski sekarang begitu masifnya kemaksiatan di Sindang Sari, sesungguhnya itu sangat rapuh."

"Semoga analisamu benar, Mbak."

"Saya sudah mempelajari ini lama sekali, Mas. Tapi saya terlalu lemah untuk melawan mereka sendiri. Saya wanita, dianggap anak kecil kemarin sore, dan hanya menjual bualan, ocehan, dan omongan kosong."

"Karena mereka sudah menjadi budak uang, kesejahteraan semu, kemakmuran palsu. Moral dianggap menjadi halangan mereka menikmati itu semua.."

"Benar, Mas."

"Mas yakin bisa melakukan revolusi moral warga?"

"Kita lumpuhkan dulu tumpuan mereka. Markenes."

"Ya, Markenes."


BIDADARI DARI TEPI SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang