1

2.4K 113 1
                                    

”Gimana?” Seorang laki-laki berwajah tegas bertanya dengan seorang wanita berbadan dua. Mereka berdua baru saja tiba di suatu tempat ujung perkampungan. 

”Hmm, bagus. Aku suka.” Jawab wanita itu dengan mata yang masih menerang kagum kedepan.

Di hadapannya ada sebuah rumah sederhana dengan halaman luas, yang di tumbuhi dengan rumput hijau. Beberapa meter dari rumah itu ada sebuah pohon besar yang membuat suasana menjadi teduh. Di sekitar rumah juga ada bunga-bunga yang baru di tanam mengitari rumah. 
Rumah sederhana berbahan dasar dari kayu elok terletak di tengah-tengah dataran hijau. Rumah sederhana itu di kelilingi oleh pagar putih. Di luar area rumah masih terbentang hamparan rumput yang sangat luas. Pemilik rumah harus berjalan sejauh 200m agar menemukan rumah warga. 

”Satu hari sebelum kita pindah, aku sengaja nyuruh Pak Man untuk buat ayunan disitu,” Laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke samping rumah, disana ada ayunan yang tampak kokoh.

”Kayaknya daerah ini jauh dari taman kota, aku takut kalau kamu tiba-tiba kepingin main ayunan terus malah aku yang bingung.” Wanita itu tersenyum, sambil mengelus perutnya dia mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu.

Saat itu entah kenapa hasrat untuk menikmati sejuknya angin sambil duduk tenang menyapa tempat nafsunya yang terasa sensitif. 

”Aku seneng deh sama tempat ini. Suasananya apa yang aku mau banget, terus rasanya kayak lagi mimpi. Aku gak mimpi kan?” Wanita itu menoleh ke arah laki-laki yang ada di sebelahnya.

Ternyata sedari tadi laki-laki itu sedang memperhatikannya. Dia jadi malu, dan menunduk.

”Gak, (namakamu), kamu gak mimpi. Ini nyata kok,” tiba-tiba laki-laki itu berjongkok, sambil tersenyum dia membelai dengan lembut perut wanitanya.

”Tempat ini, aku, kamu, dan dia.” Di kecupnya perut itu dengan lamat. 

(Namakamu) tersenyum. Dia merasa senang dengan kehidupannya sekarang. Dia merasa bersyukur. Demi tuhan, dia sangat ingin waktu seperti ini, suasana seperti ini, kebahagian seperti dan berharapa ini tidak musnah dalam waktu dekat.

”Baal,” panggil (namakamu) kepada laki-laki itu. ”Udah mau malem, masuk yuk.”

Iqbaal mengangguk, kemudian dia berjalan perlahan sambil menggamit lengan istrinya menuju rumah mereka. 

(Namakamu) pikir, setelah dia pindah kerumah barunya dia akan harus membereskan rumah barunya terlebih dahulu. Seperti yang pernah dia lakukan setahun yang lalu, di awal pernikahannnya.Tetapi dalam keadaanya kandungannya yang sudah menginjak delapan bulan ini, ketika sampai di rumah barunya, (namakamu) bisa dengan tenang langsung beristirahat setelah menikmati lelahnya perjalanan yang cukup jauh. 

Malam ini adalah malam pertama (namakamu) dan rumah barunya. (Namakamu) bisa merasakan atmosfer lain dari rumah ini, bukan sesuatu yang aneh namun seperti perasaan yang menggebu-gebu lantaran dia bahagia bisa menempati rumah dengan segalanya seperti yang dia inginkan. 

Ternyata kehabagian yang sempurna itu tidak hanya ada di negeri dongeng saja. 

”(Namakamu),” ketika (namakamu) sedang menafsirkan apa-apa saja dalam pikirannya, suara lembut Iqbaal menyapa telinganya. Laki-laki sedang berdiri di teras rumah, dan memandang (namakamu) dengan wajah kuatir.

”Ini udah jam berapa, gak seharusnya kamu diluar, ayo masuk. Udara malam gak bagus untuk kamu.” 

”Ah, kamu, jangan marah-marah dong. Mendingan kamu kesini, duduk di ayunan satunya. Asik tau.” 

”Beneran deh, (namakamu). Ini dingin banget.” Menggosok kedua telapak tangannya, kemudian Iqbaal menepuk-nepukantelapak tangannya yang terasa hangat itu kewajahnya. 

PinocchioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang