2

1K 77 0
                                    

Baru saja (namakamu) ingin menikmati pemandangan indah di samping rumah, telinganya kali ini mendapati sebuah suara aneh lainnya.

Seperti suara knop pintu yang di putar, namun tak kunjung terbuka. Tiba-tiba saja udara sejuk di luar sana menyapa permukaan lehernya hingga membuat bulu kuduknya meremang.
(Namakamu) berbalik dan menemukan knop pintu dapurnya terputar berkali-kali.

Maling!

Tidak! Tidak mungkin, mungkin saja itu Iqbaal yang ingin masuk melalui pintu belakang.

"Siapa?" Suara (namakamu) hanya seperti gumaman sengau.

(Namakamu) menyadari hal itu.
Meskipun ragu, (namakamu) memilih untuk melangkahkan kakinya daripada hanya berdiam diri dan bergulat dengan perasaan penasarannya.

Siapapun yang ada di balik pintu itu, (namakamu) tidak peduli. Tetapi yang (namakamu) takuti kalau-kalau sesuatu dibalik sana membahayakan kandunganya. Tangan (namakamu) bergerak cepat meraih pisau.

Titik keringat mulai bermunculan lantaran knop pintu semakin terputar kuat, namun seseorang di balik sana tak juga bersuara. Jantung (namakamu) berdetak lebih kencang saat pintu berusaha di dobrak dengan kuat, dan membuat hiasan gantung di pintu itu terjatuh dan pecah.

(Namakamu) bergerak mundur dan menjatuhkan pisaunya.
Detik itu juga Iqbaal datang dan melihat wajah cemas (namakamu) yang mengarah ke pintu. Knop pintu tak lagi terputar dan keadaan jauh lebih normal.

"kamu baik-baik aja kan?" Iqbaal datang dengan suara cemas, dia berjongkok mengambil pisau yang terjatuh lalu meletakannya di pantri.
(Namakamu) tidak menjawab. Dia menunjuk ke arah pintu lalu memejamkan matanya, pusing kini merajarela dalam kepalanya.

"Kamu duduk dulu." Dengan hati-hati Iqbaal menuntun (namakamu) ke kursi terdekat.

(Namakamu) langsung duduk dan memijat keningnya. Wajah (namakamu) yang pucat sukses membuat Iqbaal khawatir.
"Aku takut, Baal." (Namakamu) membekap mulutnya. Dia sama sekali tidak ingin hal semacam ini terjadi.

"Kamu tenangi diri dulu, nanti setelah itu baru kamu ceritain sama aku apa yang terjadi." Menyerahkan segelas minuman kepada (namakamu), Iqbaal mencoba mengelus bahu (namakamu) dengan sikap menenangkan.

Iqbaal berjalan ke arah jendela lalu membukanya, udara yang mencekam dalam dapur langsung tergantikan dengan udara segar dariluar.

Tiba-tiba (namakamu) bergerak memutar arah duduknya, kini dia menatap Iqbaal dengan kening berkerut resah.

"Tadi jendelanya udah di buka."
Iqbaal menghela napas pendek.

"Jendelanya terkunci, (namakamu). Usia kandungan kamu yang semakin menambah kayaknya ngebuat kamu gampang capek." Dia mengambil teh yang masih berada di dekat kompor kemudian meminumnya sampai habis. Terlalu manis, pikirnya.

"Tapi beneran, Baal, tadi udah di buka kok."
Bibir (namakamu) pucat begitu juga dengan wajahnya, hal ini yang membuat Iqbaal sedikit tidak percaya dengan ucapan wanitanya.

Iqbaal mengambil sapu dan tongsampah untuk membersihkan pecahan di dekat pintu, lalu membuka pintu dan mengedarkan mata kesekitar. Tidak ada siapa-siapa. Dia berjalan keluar dan membuang bekas pecahan itu ke tongsampah yang jauh lebih besar.

Halaman belakang terlalu luas, dan kosong. Untungnya bersih. Halaman seluas ini membuat Iqbaal bingung harus mengisinya dengan apa. Nanti sajalah, sekarang yang terpenting adalah (namakamu). Keadaan (namakamu) semakin lama semakin parah, sebaiknya untuk sementara Iqbaal harus menjauhkan (namakamu) dari hal apapun yang bersangkutan dengan dunia Disney. Iqbaal tak ingin membuat (namakamu) berimajinasi terlalu jauh.

PinocchioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang