28. Pengakuan

23K 2.3K 226
                                    

Untung saja hari ini Ardo tidak telat masuk sekolah karena harus mengantar Tante Mela terlebih dahulu ke tempat kerja. Ardo tiba di sekolah jam tujuh kurang lima menit. Ia langsung bergegas menuju kelasnya yang terletak lumayan jauh dari area parkir.

Sudah tiga hari sejak kejadian itu. Ardo memang sengaja menghindar dari Icha. Ia tidak mau bertemu dengan cewek itu lagi. Terlebih, misinya sudah selesai. Mungkin Ardo bisa dibilang mempunyai pikiran yang sedikit aneh karena dirinya merasa puas dan menyesal secara bersamaan.

Ardo menggeleng cepat, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang menggelayuti kepalanya.

“Ardo!” suara Umar menggelegar di belakang Ardo. Cowok berambut keriting yang sering mengaku-ngaku sebagai Nicholas Saputra itu tersenyum lebar menghampiri Ardo.
Ardo hanya tersenyum tipis.

“Lo sengaja jadi dingin gini biar digilai cewek-cewek ya, Do? Kan, sekarang lagi nge-hits, tuh, cowok  dingin lebih banyak dicari para cewek-cewek jaman now.”

Ardo mendengkus geli mendengar ocehan Umar. “Mar, gue saranin ya. Baiknya lo nggak kebanyakan micin. Nggak baik buat kepala lo.”

“Oh, gue salah. Ternyata Ardo bukan cowok dingin yang gue kira kayak di novel-novel.” Umar menepuk punggung Ardo dengan kencang hingga cowok itu meringis kesatikan.

“Gila lo, Mar. Pakai tenaga badak ya?”

“Bukan! Gue pake tenaga cap kaki tiga.”

“Asem banget, nih, si kriting,” umpat Ardo pada Umar.

Baru saja Ardo duduk di bangkunya, tiba-tiba saja Erlang masuk ke kelas Ardo dan berjalan cepat ke arahnya. Tanpa aba-aba, petir atau badai sebagai peringatan tanda bahaya, Erlang langsung memukul wajah Ardo dengan keras.

Buk!!!

“Sialan lo, Ardo!” teriak Erlang. Ardo langsung tersungkur di lantai dengan wajah yang terasa berdenyut menyakitkan.

“Woi, woles dong, Bro! Woles!” Umar langsung mengadang tubuh Erlang yang merangsek maju. Wajah Erlang sudah penuh emosi dan amarah.

“Woi! Ngapain lo tiba-tiba mukul Ardo, hah?”

Roni yang baru saja datang langsung membantu Ardo berdiri. Erlang memberontak dan menepis Umar kasar. Umar mengumpat kesal ketika kakinya menabrak kursi.

Erlang maju lagi dengan menyambar kerah seragam Ardo. “Gue tahu, lo kan yang menghapus file cerita milik Icha di perpustakaan waktu itu? Ngaku aja lo! Jangan senyam-senyum kayak psikopat gila!”

Roni berusaha melepas cengkeraman tangan Erlang tapi cengkeraman itu terlalu kuat. Ardo tidak melakukan perlawanan sedikit pun. Justru sebaliknya, Ardo berani tersenyum di depan wajah Erlang yang sudah merah padam.

“Kenapa kalau gue yang lakuin itu? Lo nggak terima?”

Erlang mengumpat kesal dan meninju wajah Ardo sekali lagi. Kali ini tepat di rahang Ardo. Ardo terhuyung mundur hingga tubuhnya menabrak meja dengan keras. Ardo menyeringai dengan mengusap sudut bibirnya yang mulai berdarah.

Roni kewalahan menahan Erlang, sedangkan Umar masih bingung dia harus berbuat apa. Ketika Umar mendengar nama Icha disebut, cowok itu langsung melesat keluar kelas. Ia berpikir mungkin hanya Icha yang bisa menyelesaikan permasalahan ini. Atau mungkin Pak Tri yang akan lebih dulu sampai sebelum Umar tiba bersama Icha nantinya.

Ardo bangkit berdiri kemudian balik mencengkeram kerah seragam Erlang. Tanpa kata-kata, Ardo langsung membalas pukulan Erlang hingga kacamata milik Erlang terlempar mengenaskan di lantai.

Tak berapa lama terdengar langkah yang menyeramkan dan sosok itu muncul di ambang pintu dengan tatapan garang. “KALIAN PIKIR INI RING TINJU, HAH?” suara Pak Tri menggelegar seluruh antero sekolah. Seketika semua siswa-siswi yang di sana mendadak terdiam, tak terkecuali Ardo dan Erlang.

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang