9. Bad Mood

29.2K 3K 302
                                    


"Kenapa nilai Matematika kamu jeblok lagi? Nggak belajar? Atau memang malas belajar? Gimana bisa masuk fakultas kedokteran kalau kamu seperti itu terus, Cha?"

Kata-kata Oma Ambar masih terngiang di kepala Icha. Bahkan saat Icha melihat wajah-wajah orang di jalanan mendadak berubah jadi wajah Oma Ambar semua. Ini Icha pasti sudah gila.

Icha membuka kaca helmnya dan ingin berteriak sekeras mungkin. Tetapi ia cepat sadar jika saat ini ia masih mengendarai sepeda motor di jalanan. Bisa-bisa ia dikira gila. Mungkin bisa dibilang Icha mendekati gila kalau memikirkan kata-kata Oma Ambar terus menerus.

"Ini apa?" Oma Ambar mengangkat sebuah lembaran cerita novel yang ditulis Icha. Icha membelalak kaget. Dari mana Oma Ambar menemukannya? Apa Oma Ambar masuk ke kamar Icha?

"Memang mau jadi apa kamu nanti?"bentak Oma Ambar.

"Aku mau jadi penulis cerita, Oma," jawab Icha pelan.

Percuma. Kata-kata neneknya itu masih melekat erat dalam hati dan pikiran Icha. Lampu lalu lintas di perempatan jalan berubah menjadi merah. Icha berhenti tepat di garis batas. Satu, dua orang menerobos lampu merah. Untung saja tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. Kalau tidak, bisa dipastikan kecelakaan akan terjadi di depan mata Icha.

"Penulis? Ngapain jadi penulis? Gajinya kecil, Cha. Lebih baik kamu jadi dokter seperti Oma. Contoh Marita. Dia rajin belajar. Nilai dia selalu stabil dan mendapatkan peringkat terbaik. Kamu nggak ingin jadi seperti Marita?"

Icha mengepalkan tangannya kuat. "Icha bukan Marita, Oma. Jadi jangan pernah banding-bandingin aku sama dia. Terserah dia mau jadi dokter seperti Oma. Tapi, Icha nggak mau jadi dokter. Apapun itu. Tolong, sekali saja, Oma itu ngertiin Icha. Dukung apapun mimpi Icha. Sekali saja Oma ..." Air mata Icha sudah menggenang di pelupuk matanya.

Tin ... Tin ... Tin ...

Suara klakson bersahut-sahutan memekakkan telinga.

"Woi, Neng. Jalan dong!" bentak suara bariton seorang Om-Om yang berada tepat di belakang Icha. Ternyata lampu lalu lintas itu sudah menyala hijau semenit yang lalu. Bodohnya Icha malah tidak sadar karena terlalu sibuk memikirkan kata-kata pahit Oma Ambar yang masih saja bergelayut manja di dalam kepalanya.

"Biasa aja kali. Nggak perlu pakai urat juga, Om. Gue kan cuma meleng bentar. Nggak sampai sejam juga. Nyebelin," gerutu Icha tidak ada habisnya. Ini semua karena Oma Ambar. Entah kenapa selama ini Icha tidak pernah akur dengan neneknya itu. Hanya Marita yang menjadi cucu kesayangan Oma Ambar. Icha hanya pemain figuran yang tidak penting.

--**--

Icha sengaja tidak datang ke kelas Ardo hari ini. Mood Icha masih sangat buruk. Kali ini Icha tidak hanya bisa berubah jadi Hulk, ia bisa berubah menjadi seorang monster yang siap menghancurkan apa saja yang menghalangi langkahnya. Termasuk Ardo.

Please! Hari ini gue nggak mau ketemu kakak kelas nyebelin itu.

"Itu kenapa muka hari ini kayak kain kusut, keinjek-injek, jatuh di kubangan lumpur, terus dilindes truk?" seruan Meta membuat kepala Icha tambah berasap. Mungkin Meta tidak sadar jika ia baru saja membangunkan monster rawa-rawa yang tidak pernah tersentuh manusia.

"Berisik! Lo ngalahin cerewetnya si Joko ya, Met?"

"Ups. Sorry. Lagi badmood ya? Lo habis diapain sama Oma Ambar kemarin, hah?" tanya Meta penasaran.

Icha mencebikkan bibirnya. Ia mulai merengek dan memeluk Meta. "Kenapa Ibu Suri itu jahat banget sih sama gue, Met?"

"Puk ... puk ... Kacihan Icha."

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang