3. Permintaan Pertama

48.2K 4.7K 811
                                    

Postur tubuh cowok itu tidak terlalu kurus juga tidak gemuk. Tidak setinggi tiang listrik tetapi cukup jangkung di kalangan cewek-cewek. Dengan gaya rambut paling terbaru, ia jauh lebih percaya diri dibanding seminggu yang lalu. Hampir saja Pak Tri memotong rambutnya yang sudah mulai panjang. Untungnya ia berhasil menyelamatkan diri di waktu yang tepat.

Langkah Ardo terasa ringan dengan senyum yang tidak pernah luntur dari bibirnya. Perkenalan singkatnya dengan Icha tidak mau menghilang dari pikiran. Setiap teringat wajah kesal cewek itu, bibir Ardo tidak bisa berhenti tersenyum.

Koridor kelas 12 masih sepi. Hanya beberapa murid teladan yang terlihat baru memasuki kelas. Biasanya Ardo berangkat 5 menit sebelum bel masuk berbunyi. Sengaja, memang. Tapi jangan salah, Ardo paling anti terlambat. Bisa dihitung catatan keterlambatannya berangkat sekolah. Hampir tidak pernah.

Langkah Ardo terhenti ketika melihat dua sahabatnya sudah duduk di bangku paling belakang tempat mereka biasanya membuat keributan di kelas. Ardo melirik jam tangan yang ia pakai, kemudian beralih ke jam dinding yang terpajang di tembok kelas. Jamnya nggak salah kok? Masih jam setengah tujuh. Dua anak itu kesambet apaan ya?

Cowok itu masih saja membandingkan jam tangan miliknya dengan jam dinding di kelas. Jika bukan jamnya yang salah, berarti dua sahabatnya itu yang bermasalah.

"Kalian Umar sama Roni kan?" tanya Ardo dengan jari telunjuk mengarah ke dua cowok yang sedang asyik memainkan ponselnya masing-masing. Yang ditanya saling tatap, kemudian menggeleng kompak.

"Bukan. Kenalin, gue Nicholas Saputra," Umar mengulurkan tangannya pada Ardo.

"Kenalin juga, gue Jefri Nichol," sahut Roni.

Ardo tersenyum sok manis sambil merapikan kerah seragam OSIS-nya. "Salam kenal. Gue Maxime Bouttier."

Ketiga cowok itu meringis berjamaah. Tata si cewek dengan kacamata tebal di sebelah bangku mereka merinding mendengar percakapan tiga cowok tidak waras itu.

"Ikut main nggak lo, Do?" Umar membuka aplikasi game yang sekarang ini paling nge-trend.

"Main bareng? Oke, siapa takut. Gue ikut. Mar, lo jangan pakai Zilong mulu dong. Ganti Hero yang lain kenapa?"

"Biasa, gue pakai Gatotkaca. Cintai produk dalam negeri, man." Roni menunggu Ardo dan Umar bergabung.

"Gue pakai Sun Wukong yang mencari kitab suci ke barat, lurus, perempatan belok kiri. Sip. Ayo, Mar. Gue yakin bakal menang nih kita. Cepetan! Keburu bel masuk bunyi ntar," ucap Ardo tak sabar.

"Nah, gue pilih Hilda aja." Umar meringis mendapatkan Hero pilihannya. "Ready?"

Jangan heran, mereka sedang bermain game Mobile Legends yang sepertinya sudah menyaingi kepopuleran Clash of Clans. Kata ketiga cowok itu, hidup mereka akan terasa hampa jika sehari tanpa bermain game. Lebih hampa dibanding ditinggalkan gebetan.

"Gue... tadi udah ketemu sama cewek pemilik kalung itu," celetuk Ardo tiba-tiba. Umar dan Roni kompak menatap Ardo menuntut penjelasan.

--**--

Meta menatap Icha dengan horor. Hampir tiga gelas es teh sudah Icha habiskan. "Cha, lo haus apa doyan?" tanya Meta heran.

"Gue sebel, Met. Tuh cowok manusia atau iblis bermuka manis sih? Gila! 5 permintaan? Jin iklan di TV aja cuma ngasih satu permintaan. Lha ini? Gue diminta mengabulkan 5 permintaan. Gila emang," Icha berbicara tanpa jeda sedikitpun.

Meta menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa hubungannya es teh dengan cowok yang dimaksud Icha? Sungguh Meta tidak bisa memahami keadaan ini.

"Mbak Yati. Pesan satu gelas es teh manis lagi," teriak Icha dengan suara sekeras Pak Sam yang meneriakinya tempo hari.

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang