19. Merida Abad 21

26.4K 2.6K 265
                                    

Icha tidak pernah menduga jika sekarang dirinya bisa dibilang dekat dengan dua cowok kakak kelas. Padahal, dulu, prinsip Icha adalah jangan pernah berurusan dengan kakak kelas. Siapapun itu.

Apalagi sekarang Meta mempunyai teori teraneh dan super ngawur. Meta menganggap jika Ardo dan Erlang memang sengaja mendekati Icha karena dua cowok itu suka dengan Icha. Maka dari itu Icha harus memantapkan hatinya, siapakah di antara Ardo dan Erlang yang akan dipilih Icha?

Padahal Icha tidak berpikiran seperti itu, sama sekali.

Ardo hanya seorang manusia tengil yang kebetulan lagi kesambet dan mengerjai Icha. Sedangkan Erlang hanyalah kakak kelas baik hati yang mau membantu Icha. Itu saja. Harusnya semua orang tidak salah paham dengan hubungan mereka.

"Gue yakin 1000 %, Cha. Kalau Kak Ardo dan Kak Erlang itu suka sama lo. Taruhan, deh, siapa yang bakal nembak lo duluan?"

Icha mengusap wajah Meta dengan kasar. "Sadar lah wahai engkau Meta Aninda. Jangan kebanyakan nonton drama."

"Ini muka, bukan serbetnya Mang Ucup yang bisa lo elap sembarangan, Cha." Meta menepis tangan Icha. "Gue nggak kebanyakan nonton drama. Gue cuma overdosis mantengin cowok-cowok ganteng di hape gue."

"Terserah lo, Met. Gue pulang duluan ya." Icha menepuk pipi Meta, kemudian berjalan menuju parkiran.

"Icha!" Meta berteriak memanggil nama Icha dengan kencang. "Kemarin lo jalan sama Kak Ardo, kan? Gue tahu itu. Lo tega ya bohongin gue. Awas aja lo!" Meta menyeringai dan berlalu begitu saja.

Icha masih cengo di samping motornya.

Gimana Meta bisa tahu? Jangan-jangan mulutnya si Ardo bocor lagi.

--**--

Mobil milik Oma Ambar sudah terparkir di halaman depan rumah. Firasat buruk dan berbagai ancaman muncul di kepala Icha. Jika ada Oma Ambar di rumah, mungkin hidup Icha menjadi sedidkit tidak tenang.

"Semoga ini cuma halusinasi gue aja. Oke, tarik napas dulu Icha, " gumam Icha mencoba menenangkan dirinya sebelum memasuki rumah.

"Si Ibu Suri kejam ada di dalam lho, Cha." Tiba-tiba sebuah suara sudah berbisik di dekat telinga Icha. Icha otomatis berteriak sekencang mungkin.

"Eh cilok, cilok!" teriak Icha malah mengucapkan kata cilok berulang kali.

Farez mengangkat sebelah alisnya. "Sejak kapan lo suka cilok, Cha? Dan dari mana sejarahnya lo jadi latah?"

"Sialan, ah, Bang Farez. Untung gue nggak punya penyakit jantung. Kalau iya, adik abang tinggal Farel doang, lho." Icha masih menempelkan tangan kanannya di depan dada. "Jangan suka ngagetin orang kenapa, sih, Bang?"

"Kamu belum jawab pertanyaan Abang. Sejak kapan lo suka sama cilok?"

"Siapa yang bilang aku suka cilok? Weh, nggak ada." Icha menjulurkan lidahnya. Farez melingkarkan tangannya di leher Icha, kemudian menarik adiknya itu masuk ke dalam rumah.

"Ngaku nggak lo? Icha yang gue kenal nggak suka cilok dan nggak pernah latah. Kenapa kamu jadi ..."

"Farel, Icha. Jangan bertingkah seperti anak kecil." Suara Oma Ambar terdengar seperti kutukan tak termaafkan jika tertangkap di telinga Icha.

Ratih berdeham sekali, "Mereka kan memang masih anak-anak, Ma." Ratih mengedipkan matanya beberapa kali ke Farez dan Icha untuk menghentikan kegiatan mereka yang saling mengejek tadi.

"Kamu tidak boleh sering memanjakan mereka. Buang-buang waktu saja."

Saat Oma Ambar berbicara memang tidak pernah ada yang berani bicara. Seperti, jika kalian menyela, kalian akan mati. Itu terdengar sangat horor.

MIMPI [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang