Chapter 1

341 10 3
                                    

Semua baik-baik saja.

Untuk saat ini mungkin belum baik-baik saja tetapi aku yakin sebentar lagi aku akan baik-baik saja. Ibuku akan baik-baik saja. Hidupku akan baik-baik saja.

Aku bangkit dari kursiku, melangkah menuju meja guru dengan tangan kananku memegang ponsel, dan tangan kiriku yang menyeret tas. Punggungku rasanys letih, bukan letih karena habis mengikuti mata pelajaran Penjas sebelumnya. Namun letih karena mendengar berita yang baru saja disampaikan Bi Sulis melalui telepon barusan. Lagi dan lagi, aku harus meminta izin untuk pulang ke rumah lebih cepat karena sebuah kekacauan terjadi di tempat yang tak pernah pantas disebut sebagai "rumah" itu.

Teman-teman sekelasku tidak ada yang menanyakan ke mana aku hendak pergi, karena mereka sudah terbiasa dengan pemandangan di mana seorang Anindyra Khairin membopong barang-barangnya ke arah meja guru, lalu berikutnya akan menghilang di balik pintu. Bu Murni yang sedang membaca bahan materi di balik meja gurupun, sudah tidak menanyakan lagi alasan aku meminta izin untuk pulang ke rumah, karena Bu Murni sendiri sudah terbiasa dengan aku yang selalu minta izin pulang lebih awal.

Ia akan langsung mengarahkanku ke pintu kelas setelah aku berdiri di hadapannya dan berkata, "Permisi, Bu. Saya minta izin untuk pulang."

Aku meninggalkan lingkungan sekolah dengan berat hati. 

Dan kini, setelah akhirnya kaki ku berpijak di atas teras rumah yang sudah 17 tahun aku tinggali, rasa sesalku kepada guru-guru, memudar. Aku tak lagi menyesal karena sudah dua tahun berturut-turut aku meminta izin setiap masih jam sekolah berlangsung. Ada tanggung jawab yang lebih besar di rumah yang harus aku hadapi, dibandingkan dengan sekolahku.

Aku meletakkan barang-barangku begitu saja di depan pintu rumah dan berlari memasuki rumah ketika aku melihat wanita itu menghancurkan barang-barang di dalam rumah itu. Ketika tangan-tangan ringkih wanita itu membanting semua guci dan barang-barang lainnya ke lantai lalu menghasilkan bunyi, "PRANG!" Dan berakhir pada pecah beling yang berserakan di lantai.

Kaki ku tertusuk pecah beling, namun aku tak menghiraukan itu. Aku meraih tubuh renta itu dan mendekapnya erat. Walau wanita di dalam pelukanku ini masih terus meronta-ronta. Aku semakin mengencangkan dekap. Tidak kuhiraukan lagi rasa perih yang menggerayangi kaki ku akibat menginjak pecah beling, karena semua rasa sakit yang aku rasakan tak akan pernah sebanding dengan rasa sakit yang dialami oleh wanita paruh baya ini. Darah mengalir dari kakiku, awalnya hanya setetes namun berikutnya semakin deras mengalirnya, rasa perih itu semakin menjalar ke seluruh tubuhku. Ketika akhirnya wanita itu mulai tenang, dengan susah payah aku membopong tubuh itu menuju kamar.

Bi Sulis yang baru datang dari dapur ketika melihat banyak sekali darah di lantai, segera bergegas membersihkannya. Dan setelah semua suara teriakan lenyap digantikan oleh hening, dan wanita itu sudah tertidur di kamarnya, aku keluar dari sana dan menutup pintu. Aku terduduk di depan pintu kamar dengan wajah pucat, menunggu Bi Sulis yang katanya akan mengambil kotak P3K untuk membersihkan luka di telapak kaki ku.

Aku meringis saat sentuhan kapas yang dilumuri dengan alkohol menyentuh luka irisan yang berdarah. Tubuhku bergetar. Rasa sakit dan perihnya semakin menggila, namun yang hanya bisa aku lakukan adalah menahan rasa sakit itu. Air mataku tak lagi keluar. Sudah dua tahun, dan aku mulai terbiasa dengan luka-luka akibat pecah beling itu. Bi Sulis sudah selesai memperban kaki ku, lalu membantu aku untuk duduk di sofa.

Rumah ini awalnya adalah surga bagiku. Semua kebahagiaan berpusat di sini. Semua tawa kemudian bermuara di sini, menciptakan kehangatan di dalamnya. Namun sejak dua tahun lalu, surga itu berubah menjadi neraka. Semua kebahagiaan tergantikan dengan tangisan dan teriakan histeris akibat kesakitan, tak ada tawa. Hanya ada bunyi-bunyi barang pecah. Rumah ini hanya ramai jika barang-barang mulai berakhir di lantai, dan setelah itu akan kembali hening ketika wanita itu sudah tertidur. Aku tidak akan pernah mengizinkan siapapun membawa wanita itu dirawat di rumah sakit jiwa. Sekalipun semua orang sudah menyuruh aki untuk memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa. Tapi aku tidak akan pernah melakukannya. Karena setelah kehancuran dua tahun lalu terjadi, hanya ada wanita itu satu-satunya yang aku punya. Hanya wanita itu satu-satunya yang tersisa di duniaku. Hanya karena wanita itu aku masih mampu berdiri tegak, melanjutkan kehidupan dan mengejar mimpiku.
Hanya wanita itu satu-satunya penopang aku hidup.

"Non, makan dulu."

"Ibu sudah makan, Bi?" Aku mengalihkan pembicaraan. Aku tidak lapar. Tadi di sekolah memang aku lapar, namun rasa laparku sudah hilang semenjak mendapat berita itu.

"Ibu sudah makan. Tadi setelah makan, Bibi biarin Ibu nonton tv sendirian, Bibi enggak tahu apa yang dia lihat di tv lalu mengamuk lagi."

Aku mengembuskan napas dengan cepat. Seharusnya aku enyahkan tv itu dari muka bumi. Seharusnya aku tidak membiarkan wanita itu, yang tak lain adalah Ibu kandungku sendiri, terhubung dengan dunia luar. Aku berdiri dari duduk ku, jalanku pincang karena kakiku yang diperban masih terasa pedih. Aku berdiri di dekat tv, seketika sekelebat ingatan di masa lalu menghampiriku.

Siang itu, Anindyra baru pulang dari sekolah. Masih menggunakan seragam putih-merahnya ia berlari menuju lemari pendingin untuk mencari es batu. Gadis itu suka mengunyah es batu.

Tiba-tiba dari luar rumah terdengar suara mobil berhenti dan waktu berikutnya, terlihat wajah Ayah dan Ibunya di pintu. Mereka tersenyum lebar waktu melihat Anindyra kecil di depan kulkas.

"Eh, anak Ayah udah pulang ternyata!" Pria itu mendekati putrinya lalu memeluknya dan menggendongnya. Anindyra ikut berdiri di depan pintu, dan di sanalah ia melihat sebuah mobil box berhenti di depan pagar rumahnya, empat orang laki-laki turun dari mobil dan mengangkat sebuah karton berukuran besar, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.

"Mau ditaruh di mana ini, Pak?" tanya seorang laki-laki.

Ayah Anindyra melepas gadis itu dari gendongannya dan Anindyra bergabung dengan sang Ibu yang masih berdiri di ambang pintu, memperhatikan orang-orang itu berbicara dengan suaminya.

"Ditaruh di sini saja, Mas." Ayah menyuruh mereka menaruhnya di atas meja tv yang sebelumnya itu meja tv berukuran kecil yang kini tvnya sudah pindah ke kamar Bi Sulis, pembantu mereka.

"Bi?" panggilku.

Ketika Bi Sulis menunjukkan batang hidungnya, aku kembali bersuara. "Ada Mang Ujang, 'kan?"

"Ada, Non. Mau Bibi panggilin?"

"Iya, Bi. Tolong suruh Mang Ujang buang tv ini."

Semula mendengarnya, Bi Sulis kaget namun wanita tua itu tak bersuara dan membantah. Bi Sulis hanya mengangguk paham dan mencari Mang Ujang, tukang kebun di rumah. Aku menaiki tangga menuju kamar, tak peduli lagi pada nasib tv itu.

Biarlah, biar tv itu mewakilkan semua kenangan yang sudah seharusnya dikubur sejak jauh-jauh hari, batinku.

Karena sekali lagi, semua akan baik-baik saja.

*****

Serius, ini beda banget memang sama cerita Sebuah Kata yang sebelumnya. Tapi semoga bisa diterima ya sama semua pembaca Sebuah Kata.

Btw, hi kalian? Sudah lama gak menyapa. Thank you sudah baca Sebuah Kata. Support terus cerita ini yah😊

Sebuah KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang