Chapter 3

178 8 2
                                    

Kamu tidak akan pernah mengetahui apa rasanya menjadi seseorang yang bukan dirimu. Apa yang seseorang rasakan, apa yang mereka hadapi dan bagaimana mereka menjalaninya. Kamu tidak akan pernah merasakan semua itu karena kamu bukan mereka. Kamu adalah kamu. Sama halnya dengan orang lain, mereka tidak akan bisa merasakan apa yang kamu rasa, mereka tidak tahu kejadian apa saja yang kamu alami di dalam hidupmu, karena sekali lagi mereka bukan kamu. Mereka ya mereka.

Kadang, ada banyak hal di dunia ini yang tidak harus dibagi dengan siapapun. Karena sekalipun manusia adalah makhluk sosial, tetap saja manusia butuh privacy-nya sendiri. Manusia juga butuh ruang sendiri, untuk menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri. Untuk lebih memahami apa yang sebenarnya dirinya inginkan atau apa yang sebenarnya dirinya butuhkan. Manusia butuh waktu sendiri, untuk memikirkan hal-hal apa saja yang baru saja dia lewati juga hal-hal mendatang apa saja yang harus ia hadapi. Untuk sebagian orang, menyendiri adalah terapi. Namun, untuk sebagian orang yang lain lagi, menyendiri adalah kelainan.

Seperti yang sekarang sedang aku lakukan. Sejak awal jam istirahat, aku hanya duduk sendirian di dalam kelas. Memantau keadaan Ibu dari ponsel, iya aku sedang melakukan video call dengan Bi Sulis, hal itu aku lakukan karena aku harus melihat keadaan Ibu. Aku tidak peduli apa yang murid-murid di kelas pikirkan tentang diriku. Bagi mereka, aku gadis aneh. Bagi mereka, seseorang seperti ku adalah manusia yang tidak pantas dijadikan teman. Bagi mereka, kehidupanku itu sangat aneh. Mereka lakukan itu hanya karena mereka tidak menghadapi apa yang aku hadapi. Mereka tidak merasakan apa yang aku rasakan.

Dan sejauh ini, aku tidak pernah peduli dengan anggapan-anggapan orang-orang itu tentang diriku. Bagiku, omongan-omongan orang-orang itu tidak berguna. Omongan mereka sama seperti uang receh yang berbenturan di dalam celengan, padahal nilainya tak seberapa tapi hebohnya luar biasa. Akupun heran, bagaimana bisa di dunia ini ada manusia manusia seperti itu? Manusia-manusia yang sibuk mengata-ngatai orang lain, sibuk memperhatikan kehidupan orang lain, sementara mereka tidak melihat seburuk apa diri mereka.

Di dunia ini, manusia tidak pernah ada yang sempurna. Aku belajar banyak hal tentang perilaku manusia, dari dalam keluargaku sendiri. Semenjak hidupku tak pernah lagi utuh, semenjak kehancuran memeluk keluargaku, aku tahu bahwa manusia di muka bumi tak ada satupun yang sempurna. Aku belajar dari Ibu, Ibuku yang tadinya ceria dan selalu menjadi sosok yang penyabar, kini berubah 180 derajat dari yang sebelumnya. Tidak akan pernah ada kesabaran dan keceriaan itu lagi, karena semua itu sudah sirna hanya dengan satu malapetaka saja. Sesederhana itu, manusia memang tidak ada yang sempurna.

Dan dari Ayah... Ah, aku menepis pemikiran itu. Kenapa juga aku harus memikirkan pria itu? Entah di mana ia sekarang, entah masih hidup atau sudah hilang kah dia dari bumi ini, aku merasa tidak perlu lagi untuk memikirkannya. Aku menghapus pemikiranku tentang sosok yang satu itu, sekalipun dari sosok itulah aku mendapat banyak sekali pelajaran hidup. Tentang mencintai namun akhirnya meninggalkan. Dan sejak saat itu pula aku tahu, tidak ada yang abadi di dunia ini. Aku tahu, bahkan cinta seorang Ayah kepada anaknya pun tidak abadi. Kalau tentang Ibu, aku tidak tahu apakah wanita itu masih tahu kalau dia punya anak, apakah wanita itu masih menyayangiku seperti sebelumnya?

Aku meremukkan kertas di hadapanku. Lalu melemparnya ke tempat sampah. Aku barusan menulis sebuah puisi. Namun, rasanya seperti puisi itu tak hidup. Puisi itu tidak bermakna apapun. Puisi itu mati. Dan, aku mulai kesal karena semua coretan-coretan yang tertoreh di atas secarik kertas itu sama sekali tidak bagus. Awalnya, aku suka menulis puisi. Menulis tentang cinta dan kebahagiaan, karena hidupku sebelum ini pun mengantongi banyak sekali cinta dan kebahagiaan. Tapi setelah semua kehancuran menerpa, jemariku seperti disihir sendiri untuk menulis hal-hal menyakitkan.

"Siang itu hujan,
Kau datang dengan sekantong rahasia yang kau isi di dalam saku jasmu,
Kau melangkah masuk menyusuri setiap kehidupan
Kau menjejakkan langkahmu di dalam rumah yang sebenarnya sudah lama bukan lagi menjadi tempatmu pulang
Kau keluarkan kantong itu dari sakumu,
Kau hidangkan ia di atas meja
Ternyata isi kantong itu adalah sekantong duka cita dan kebohongan
Kau melangkah pergi, meninggalkan jiwa-jiwa yang tempias
Meremukkan setiap hati hingga curna"

Aku terkejut mendengar suara itu. Aku mendongak, lalu mendapati sosok Ikbal yang berdiri di ambang pintu dengan tangannya yang memegang secarik kertas. Kertas itu tadi aku lemparkan ke tong sampah, namun aku bingung bagaimana kertas itu bisa ada di tangan laki-laki itu bahkan ia membaca tulisan di dalamnya.

Aku berdiri, berusaha mengambil kertas itu dari Ikbal, namun Ikbal berlari dari jangkauanku, ia tersenyum mengejek, bercanda. Namun, aku yang kalang-kabut malah berteriak dengan histeris. "Balikin kertas saya!"

Ikbal terdiam ketika mendengar teriakkan itu. Teriakkan ketakuan. Tubuhnya tak lagi bergerak menjauh, ia hanya berdiri diam menghadapi terjangan tiba-tiba dari ku. Aku mendorong tubuh Ikbal dengan kasar ke tembok, merampas kertas itu dengan seluruh upaya, lalu berlari keluar kelas dengan mata berair dan wajah memerah. Semuanya terjadi dengan amat sangat tiba-tiba, sampai-sampai dapat aku rasakan aura ketegangan dari sorot tatapan Ikbal tadi padaku.

Aku berlari ke arah gedung C, gedung yang biasanya digunakan anak-anak ekskul tari untuk menari. Ini tempat di mana aku selalu melarikan diri ketika sedang lepas kendali. Tempat ini satu-satunya tempat sunyi di sekolah yang jarang didatangi oleh penduduk sekolah. Anak-anak tari juga mentok-mentok hanya berada di dalam gedung, tidak ada yang ke bagian belakang gedung.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Ketika ketenangan sudah kembali mengambil alih sepenuhnya dalam diriku, maka aku kembali melangkah menuju kelas. Masih jam istirahat, jadi koridor sekolah dan halaman masih sangat ramai. Aku masuk ke kelas, lalu agak terkejut ketika mendapati Ikbal yang membaca kertas lainnya. Aku tidak tahu apa yang ia baca di sana tetapi melihat raut wajahnya seperti ia sedang tersenyum mengejek ku.

"Ngapain kamu?" tanyaku dingin. Ikbal mengangkat pandangannya dan terkejut. Tetapi ia tidak melepaskan kertas di genggamannya itu.

"Lain kali kalo mau nulis, jangan di kertas. Kasihan, pohon di hutan makin ke sini semakin habis karena pembuatan kertas. Zaman udah canggih kok nulisnya masih di kertas." Ia terkekeh.

Aku mendekat, mengambil kertas dari genggamannya dan hal itu malah membuatnya tertawa.

"Are you okay?" Ia bertanya. "You're not okay. Sorry gue gangguin lo banget kayaknya. Sorry buat kejadian tadi. Tapi jangan menjauh lagi, ya, kalau gue deketin lo? Itu buat gue ngerasa nyakitin lo. Puisi-puisi lo bagus, you're so talented."

Aku mendesah jenuh. Tahu apa ia soal puisi? Tahu apa ia soal talenta? Aku menuliskan puisi-puisi itu karena memang ingin menuliskannya. Karena memang merasa tenang ketika menulis, lagipula tulisanku jika dibandingkan dengan tulisan penulis-penulis hebat di luaran sana, tetap saja tak memiliki nilai apa-apa. Ia ini sok tahu sekali.

Lalu, ia menarik kertas kecil yang tadi ia selipkan di halaman bukuku.

"Ini gue buang, ya? Hehe."

Aku diam saja. Itu cuma tulisan berbunyi, "Senang bisa kenal sama lo." Toh, tak apa-apa jika ia mau membuangnya.


*****

Sebuah KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang