Chapter 5

164 10 0
                                    

Entah apa yang semesta sedang permainkan sampai-sampai membawa laki-laki itu di hadapan ku saat ini. Saat di mana aku amat sangat ingin sendirian. Aku ingin berdiri, namun aktivitasku dihalang oleh Ikbal. Ikbal menahan tanganku. Ya, Ikbal-lah yang kini berdiri di sebelah ku.

"Eh, duduk aja. Ngapain buru-buru mau cabut?"

"Gue sejak masuk di sekolah itu, terus ketemu sama cewek aneh kayak lo, gue jadi ngerasa seperti manusia paling menyedihkan di muka bumi," lanjut Ikbal ketika aku tetap diam.

Aku yang sudah kembali duduk, mengangkat kepala dan menatap tajam pada Ikbal, senyum Ikbal semakin merekah. Dia kayaknya enggak merasakan apa-apa ketika ditatap begitu. Ia lalu duduk di sebelahku, menyandarkan punggungnya pada pohon di belakang kami.

"Lo tahu kenapa gue bilang, gue manusia paling menyedihkan di muka bumi?"

Aku hanya diam. Tidak bersuara sama sekali.

"Karena gue ketemu cewek cantik tapi malah nyeremin. Kayak..." Ia jeda sebentar ucapannya, berpikir tentang apa yang akan ia katakan selanjutnya, dan ketika sesuatu hadir dalam otaknya mungkin, Ikbal kembali membuka suara, "kayak emak tirinya Cinderella."

"Lho, kok jadi kayak Ibu tirinya Cinderella?" aku bertanya. Kaget juga pada suaraku sendiri. Bisa-bisanya ia keluar begitu saja tanpa kontrolku. Aku menyuarakannya secara refleks. Hilang kesadaran. Sudah terlanjur berbicara begitu, kulihat Ikbal menoleh padaku cepat dan aku langsung memalingkan arah pandang. Ia menatapku lama, kurasa.

"Gue juga enggak ngerti, tapi kayaknya lo kalo diibaratin tokoh dalam film-film gitu, ya cocoknya sih jadi emaknya Cinderella. Galak soalnya."
"Kalau udah tahu galak, kenapa masih diajak ngobrol?"
"Soalnya gue tahu, lo itu diem karena lagi hukum diri lo sendiri. Jadi waktu ada yang ajak ngobrol, lo yang lagi hukum diri lo sendiri malah ngomongnya galak gitu. Gue tahu kok, lo itu butuh teman ngobrol."
"Kalau saya boleh minta apapun sama Tuhan sekarang, saya ingin manusia kayak kamu hilang dari bumi."
"Kalau gue hilang, entar lo jadi bisu selamanya."
"Memangnya kamu siapa? Bisa ngomong kayak gitu seenaknya.
"Buktinya sekarang lo jadi banyak ngomong, 'kan? Enggak kayak waktu di sekolah. Diem terus."

Aku menarik napas, memasok banyak-banyak udara ke dalam paru-paruku. Berbicara banyak-banyak bikin aku sesak. Juga mulutku jadi kering. Begini ya rasanya banyak bicara, bikin capek. Orang-orang yang biasanya cerewet itu, enggak pernah capek apa ya kalau mulutnya banyak bergerak? Contohnya kayak manusia aneh di sebelahku ini. Sudah cerewet, buat kesal pula. Rasa-rasanya aku ingin melempar dia ke samudera hindia agar aku bisa kembali ke kehidupanku yang semula. Hening dan tanpa manusia cerewet.

Suara guruh dari langit menyentak ku seketika. Langit tadinya cerah, mendadak awan putih berubah kelabu, menandakan jika sebentar lagi rinai hujan akan mengguyur bumi. Aku berdiri, membuat Ikbal mengikut-sertakan pandangannya padaku.

"Mau ke mana?"

Aku hanya diam dan segera melangkah pergi. Langkahku cepat, ingin segera tiba di rumah tanpa kehujanan. Lalu kemudian aku menyadari ada langkah lain di sebelahku. Turut menyamakan langkahnya denganku.

"Lo takut sama hujan, Ndy?"

Enggak. Aku menjawab pertanyaannya di dalam hati. Aku tidak takut pada hujan, aku tidak takut dengan suara guruh. Aku juga tidak takut pada air. Aku cuma tidak suka kenangan-kenangan yang sudah lama sekali berlalu, kembali berputar dalam ingatan hanya karena setiap rinai hujan yang turun. Entah mengapa, hujan selalu mampu mengurai kembali kenangan yang sudah berlalu. Kembali membawa kenangan itu memenuhi ingatan. Dan aku tidak suka hujan karena itu. Kedengarannya memang sangat melankolis atau lebay atau apapun yang boleh kalian sebut. Tetapi aku mengartikan hujan seperti itu.

Sebuah KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang