Chapter 4

152 7 0
                                    

Ekspresi lelah yang terpancar dari wajah Bi Sulis sangat terlihat jelas. Aku memahaminya, aku lalu meminta Bi Sulis untuk beristirahat dan aku sendiri yang akan menangani Ibu. Ibu kini sedang melemparkan semua barang ke tembok. Semua guci-guci mahal yang bisa  kuingat, semua benda itu sudah ada bahkan sebelum diriku ada di bumi. Barang-barang itu lalu hancur dan berserakan di lantai. Sama persis seperti hati wanita rapuh itu yang sudah dihancurkan beberapa tahun yang lalu, semua perasaannya berserakan pada setiap perjalanan hidupnya yang tak pernah lagi baik seperti sebelumnya. Aku menebak, ke mana perginya semua kasih sayang juga kehangatan yang dulu pernah berkumpul di rumah ini? Namun lagi-lagi, aku kembali menyerah menebak-nebak semua hal itu ketika sosok Ayah menerobos masuk ke dalam ingatan.

Aku duduk di sofa, netraku memandang nanar ke arah Ibu yang masih melemparkan beberapa barang. Terserahlah, apapun yang ingin wanita itu lakukan, biarkan saja ia lakukan itu jika semua itu membuat dirinya bisa kembali tenang, walaupun belum tahu entah sampai kapan ketenangan itu baru bisa menyatu lagi dengan raganya yang sudah kehilangan kewarasannya. Aku biarkan semua barang itu hancur, aku sudah terima kalau suatu hari nanti rumah yang sedang aku tinggali ini akan menjadi bangunan tua yang hampa. Tak akan ada apa-apa lagi di dalamnya selain jiwa-jiwa yang dipasung kenangan buruk. Sembari menonton Ibu, pikiranku tiba-tiba saja menayangkan sosok Ikbal. Entah kenapa tiba-tiba aku memikirkan laki-laki itu, yang jelas adalah sosok itu hadir tanpa permisi.

"Dia baca puisiku? Ngomong sama aku? Senyum buatku? Ketawa? Aneh sekali manusia itu," gumamku.

Namun, secepat itu pikiran tentang Ikbal datang, secepat itu juga sosok itu menghilang dari pikiranku. Lamunanku tempias ketika bunyi barang pecah kembali memenuhi indra pendengaranku. Aku kembali fokus memandangi sang Ibu yang kini sepertinya sudah saling sapa dengan kawan lamanya itu; ketenangan. Ketika Ibu akhirnya terduduk lemah di atas lantai keramik, dengan kaki yang berdarah karena menginjak banyak sekali pecahan. Aku mengembuskan napas, berdiri dari sofa lalu membersihkan semua pecahan itu sendirian, berikutnya adalah mengobati kaki Ibu yang hancur karena pecahan-pecahan itu. Air mataku tak kuasa lagi aku bendung, dengan tangan yang gemetar aku terus mengobati kaki Ibu.

"Bu, Indy bawa ke kamar, ya?" tanyaku ketika selesai mem-perban kaki Ibu. Tanpa menunggu jawabannya, yang memang sudah pasti tak akan pernah menyuarakan apapun, aku berusaha membopong Ibu ke kamar. Merebahkan tubuh ringkih itu di kasur, lalu aku duduk di sebelahnya, mengelus lembut rambut Ibu yang mulai memutih karena usia. Ibu hanya memandang kosong ke arahku, tidak ada sorot apapun yang aku temukan dari mata itu. Mata yang dulunya penuh dengan cinta juga kebahagiaan.

"Apa Ibu gak lelah seperti ini terus? Apa Ibu enggak kesakitan seperti ini terus? Bu, Indy lelah. Capek rasanya terkungkung dalam ruang gelap ini setiap waktu. Ibu udah enggak sayang sama Indy lagi, ya? Apa Ibu lupa kalau dulu Ibu pernah bilang kamu selalu berhak mendapat kasih sayang dan perhatian?" Aku bernapas dengan susah payah. Dadaku terasa sesak. Ada banyak sekali perasaan yang ingin aku luapkan, namun semua itu aku tahan hingga mencipta sesak. Hanya air mata yang mewakili semua itu.

"Bu, kalau aja Indy bisa putar kembali waktu, Indy enggak akan pernah biarin kehancuran itu menyerbu hidup kita. Indy enggak akan biarin Ibu sakit. Dan yang paling penting adalah, Indy enggak akan mau lahir ke dunia yang penuh dengan kebohongan ini, Bu. Dunia ini gila, jahat!"

Mata itu meredup, lalu berikutnya mata itu tertutup rapat dan napas Ibu berembus lembut. Tanda bahwa Ibu sudah tertidur. Aku tak habis pikir, apa suaraku terdengar sebagai instrumen pengantar tidur sehingga Ibu akhirnya tertidur ketika aku menumpahkan perasaan sakitku? Aku rindu ketika semua celotehanku dibalas lembut oleh sang Ibu, sayangnya hal itu sepertinya sangat mustahil untuk terulang kembali. Aku berdiri, menarik selimut dan membungkus tubuh Ibu agar hangat, lalu kukecup kening Ibu dengan semua rasa rindu dan kasih sayang.

Aku keluar dari kamar itu, mengedarkan pandangan ke seluruh bagian rumah itu. Semakin hari, rumah terasa semakin sepi. Seperti setiap raga yang hidup dalam rumah itu rasanya sudah kehilangan jiwa. Kami hidup, tapi tak pernah benar-benar hidup. Aku mengembuskan napas, menyeka mata lalu pergi ke kamar Bi Sulis dan mengatakan jika aku ingin keluar sebentar.

Kakiku menjejaki jalanan. Ku biarkan segenap ragaku bergabung dengan kehidupan-kehidupan lain di luar rumah. Aku ingin saja membiarkan diriku benar-benar merasakan kehidupan. Aku akhirnya memasuki sebuah taman yang tidak jauh dari rumah. Aku duduk di bawah sebuah pohon rindang, membawa pandanganku menonton danau buatan di hadapanku. Taman ramai, banyak sekali anak-anak kecil yang bermain di sekitarnya, juga orang-orang dewasa yang terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Mataku mendapati dua orang pasangan kekasih yang duduk tidak jauh dari tempatnya duduk. Yang perempuan tidur di pangkuan sang laki-laki, sementara yang laki-laki sibuk memainkan rambut si perempuan. Aku memperhatikan adegan itu, aku dapat melihat senyum di wajah sang laki-laki. Seketika bulu kuduk ku meremang. Aku bergidik ngeri.

Dunia memang selalu penuh dengan sandiwara. Aku berani bertaruh, orang-orang yang awalnya dimabuk cinta akan berakhir mengenaskan karena rasa mabuk akan cinta itu. Semua rasa cinta tidak ada yang abadi. Semua itu hanya akan mengakibatkan kesakitan, kehancuran juga menyisakan luka. Aku berani bertaruh, mencintai itu menyakitkan. Mencintai itu sama saja melukai hati perlahan-lahan. Lalu setelah hati sudah terluka, maka ia akan hancur.

"Sendirian nih?"

Suara itu membuatku mengangkat kepala dan tatapanku langsung bertubrukan dengan mata seorang laki-laki yang akhirnya membuatku mendengus.

*****

Sebuah KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang