Chapter 6

153 7 1
                                    

Enggak mengerti juga kenapa aku bisa sebegini senangnya ketika memiliki teman. Di rumah, setiap kali weekend atau sehabis pulang sekolah, Ikbal selalu mampir.

Ia sering bantu Bibi masak di dapur. Godain Bibi yang selalu ngaduh ke aku akhirnya. Bikin Bibi ketawa, bikin aku kesal, tetapi yang aku enggak habis pikir itu waktu suatu hari aku melihat ia menyuapi Ibu sembari mengajak ngobrol Ibu, walaupun ia sudah tahu Ibu tidak akan pernah menjawabnya. Dia juga senang bantu-bantu Pak Ujang bersihin taman belakang. Sampai-sampai Pak Ujang pernah ngaduh ke aku kalau Ikbal katanya ingin melamar kerja jadi tukang kebun di rumah. Enggak digaji juga enggak masalah, yang penting dia bisa di rumah ini terus. Manusia jenis apa sih dia?

Enggak pernah aku sadari kalau waktu berjalan secepat ini ketika bahagia tengah melanda. Rasanya baru kemarin aku baikan sama Ikbal, eh ternyata udah mau lewat satu semester saja aku sama dia temanan. Rasanya aneh, bikin aku suka merutuki diri sendiri. Lucu saja, cewek sepertiku yang tidak pernah cocok dengan ekspresi apapun selain datar dan dingin, kini malah lebih sering mengulum senyum karena sosok seperti Ikbal.

"Hari ini Rara ulangtahun, lo ikut ke rumah gue, ya? Ada acara makan-makan keluarga entar malem." Ikbal baru saja datang dari dapur, membuatku yang tengah menyapu lantai ruang tamu turut mendongak dan memandangnya. Di tangannya ada sebuah mangkuk berisi mi instan. Ia lalu duduk di sofa, menunggu mie-nya agak dingin.

Aku tercenung. Apa aku harus ikut juga? Rasanya ini sudah terlalu jauh. Menghabiskan sebagian waktu dengan Ikbal saja rasanya sudah melelahkan sekaligus menyenangkan. Aneh rasanya jika aku membiarkan diriku memasuki dunia Ikbal semakin jauh lagi.

"Harus banget, ya, aku ikut?" Tolong, Indy, jangan plin-plan. Sebagian diriku berteriak memakiku.

Dia tertawa dengan mi-nya yang masih bergelantungan di sudut bibirnya. "Kan gue ngajak elo, ya berarti lo harus ikut lah. Gue enggak terima penolakan!"

"Tapi, Ibu--"

"Lo mau ngeles sama gue, ya? Kan ada Bibi. Ada Mang Ujang juga."

"Ya, beda. Mereka 'kan--"

"Mereka cuma kerja di sini, sementara lo adalah anak kandung Ibu lo. Jadi, udah sewajibnya lo ngejaga Ibu," sambungnya memotong ucapan ku.

Dia ini memang gemar sekali memotong pembicaraan orang lain.

"Jadi, aku enggak ikut," lanjutku.

Aku mendengus. Jengkel sekali rasanya jika harus berdebat dengan manusia aneh satu ini. Ia tahu aku tidak suka banyak bicara, tapi ia malah senang sekali membuatku berbicara dengannya. Dia juga tahu kalau aku ini sering marah sama dia, tapi dia malah selalu memancing amarahku. Dia ini pengin aku cepat-cepat menua, ya?

"Pokoknya lo harus ikut. Tadi gue udah minta izin sama Ibu. Malam ini, anak gadisnya gue pinjam dulu dan bakal gue balikin dengan enggak kurang satu apapun."

Spontan, mataku membulat. Aku melemparnya dengan sapu namun tangkas ia menendang sapu itu hingga tidak menimpuk kepalanya. Ia meringis, mengejekku. Rasanya ingin aku sumpal mulutnya itu dengan debu.

"Kamu!" geramku.

Dia terkekeh. Sial, manusia mana sih yang bila dimarah malah hanya akan membalas dengan kekehan? Enggak ada rasa bersalahnya sama sekali.

"Ayolah, sekali aja, Indy. Plisssss!"

Aku mendengus. Tanpa menjawabnya, aku melangkah cepat ke arah kamar Ibu. Ini enggak bisa dibiarin. Aku meninggalkan Ikbal di belakang sana dengan tawanya yang mengudara di udara. Sial!

∆∆∆

Usahaku menolak ajakannya tentu saja tidak digubris sama sekali oleh Ikbal. Tadi sore sewaktu mengaduh pada Ibu, Ibu hanya diam saja dan tidak mau mendengarkan aku. Ia hanya sibuk dengan melamun, melamun dan melamun. Entah apa yang ia pikirkan. Entah bagaimana lagi usahaku agar ia bisa memperhatikan aku. Ibu membiarkan aku dibawa pergi oleh manusia aneh ini.

Sebuah KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang