Chapter 7

144 8 3
                                    

Rumah sepi saat aku pulang. Tidak ada suara apapun, membuat aku menjadi penasaran dan berniat untuk menengok Ibu di kamarnya. Melangkah pelan hingga tiba di depan pintu kamar Ibu, aku meraih handle pintu, membukanya dengan pelan agar tak menciptakan bunyi.

Kulihat sosok Ibu sedang tertidur pulas di tempat tidurnya, sembari memeluk boneka yang aku ingat itu dibelikan oleh Ikbal beberapa waktu yang lalu. Ah, manusia itu, kenapa dia lagi-dia lagi?

"Kak." Suara Bibi membuatku kembali ke dunia nyata, melepas imajinasiku. Aku menengok padanya dengan penasaran sembari menutup pintu kamar Ibu.

"Kenapa, Bi?"

Ekspresinya terlihat ragu, namun juga dibarengi dengan kekhawatiran. "Bi?"

"Bibi mau minta maaf sebelumnya, Kak."

Aku tentu saja kaget mendengar suara permohanan Bibi. Sejauh waktu berlalu, Bibi adalah orang yang paling aku percayai, ia adalah manusia paling sabar yang enggak pernah pergi ninggalin aku dan juga Ibu. Dia bahkan dengan sukarela bekerja di rumah ini setelah kejadian itu, tanpa dibayar. Katanya, ingin membalas jasa Ibu di masa lampau yang membawanya dari kampung karena disiksa oleh suaminya yang temperamental. Ibu dulu adalah seorang dosen di salah satu Universitas negeri terbaik di Indonesia, dan kebetulan mengadakan penelitian bersama beberapa mahasiswanya di semester akhir untuk bahan pembelajaran di kampung Bibi, lalu kebetulan bertemu dengan Bibi yang murah hati ini. Bibi itu seperti Ibu kedua bagiku.

"Ada apa sih, Bi?" kejarku.

"Bibi minta maaf, Kak. Tadi Bapak datang."

Apa aku pernah memberitahu ketakutanku yang paling besar adalah apa? Mungkin ada yang sudah tahu di antara kalian. Tetapi percayalah, mendengar nama itu kembali disebut di dalam rumah ini, adalah ketakutanku yang paling besar. Seperti aku disambar oleh petir dan seluruh tubuhku terbakar habis.

"Bibi minta maaf, Kak. Bibi tidak berani mengusir beliau karena dia sangat bersikeras ingin bertemu dengan Ibu. Dia sampai-sampai berteriak di depan rumah untuk bertemu dengan Ibu, Bibi jadi tidak tega dan malu juga sama tetangga, makanya Bibi biarin dia masuk, ketemu sama Ibu, Ibu langsung kambuh waktu lihat Bapak, tapi Bapak langsung peluk Ibu dan mohon-mohon ampun---" Bibi menangis. Ucapannya berhenti.

Sial, mataku juga rasanya perih, siap menumpahkan airnya yang sudah menggenang di pelupuk mataku. Bibi begitu menyesal, terus-terusan meminta maaf. Padahal ia tidak bersalah, waktulah yang bersalah. Sudah tahu luka sulit sekali disembuhkan, namun senang sekali menyakiti kembali. Aku mengerti bagaimana perasaan Bibi yang dengan langsung menyaksikan kejadian itu, ia pasti iba. Tetapi aku sedih bukan karena itu, aku sedih karena manusia jahat itu sepertinya belum puas dan enggan berhenti menyakiti aku dan Ibu. Apa yang dia mau si? Menanti kematian Ibu agar ia bisa berhenti dan bersenang-senang? Mengapa makhluk bernama laki-laki itu senang sekali menyakiti bentuk lain dari tulang rusuk mereka sendiri?

"Ibu diam, lalu tidak lagi melawan dan membuat kekacauan. Ibu, entah kenapa langsung tertidur dan Bapak membawanya masuk ke kamar, sehabis itu beliau pamit pulang. Bibi baru juga sadar, beliau tidak datang dengan mobil, ia pergi dengan berjalan kaki."

"Bi?"

"Kak, Bibi mohon jangan benci sama Bapak. Beliau itu Ayah kandung Kakak sendiri. Bibi mengerti, Bapak menyesal, Kak. Bapak pasti kembali pulang, Kakak jangan benci sama Ayahnya, ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebuah KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang